Rabu, 09 April 2008

EKSKLUSIFITAS SASTRAWAN PASCA ANGKATAN 2000
PENEMPATAN PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK DALAM KARYA SASTRA
Oleh : Arif Irfan Fauzi


PENGANTAR
Meski keberadaan angkatan 2000 masih menjadi polemik, namun angkatan ini terbukti telah mampu mencetak ratusan sastrawan baru dan mungkin ribuan karya sastra. Terlepas dari polemik yang ada, secara global angkatan ini memiliki ciri yang sangat jauh berbeda dengan angkatan sebelumnya (Angkatan Reformasi/ 1998). Ciri-ciri yang menonjol dari angkatan 2000 adalah kebebasan berekspresi dan berkreasi para sastrawan sebebas-bebasnya. Konkritnya karya sastra yang dihasilkan cenderung bertemakan kebangkitan kaum perempuan dan emansipasi.

Runtuhnya rezim orde baru yang mengekang kreatifitas para pelaku seni termasuk di dalamnya para sastrawan disambut dengan "hip-hip, hura-hura." Ratusan karya sastra tercipta, baik yang bersifat asli karangan yang berkarakteristik reformasi, atau hanya sebagai embrio angkatan sesudahnya (2000). Beberapa karya sastra yang dulunya diberendel dan dilarang terbit, diproduksi secara masal demi memenuhi kehausan pembaca.

Evolusi yang dihasilkan oleh angkatan ini tidak hanya sebatas karya yang dicetak dalam bentuk buku atau antologi, namun juga merambah ke dunia maya dengan diluncurkannya situs www.cybersastra.com yang saat ini berubah menjadi www.cybersastra.net. Walaupun keberadaan cyber sastra tidak bisa lagi ditolak dalam kancah kesusastraan modern walaupun masih banyak kalangan yang memperdebatkannya. Diakui atau tidak, masyarakat telah mengakui bahwa secara faktual telah muncul media alternatif yang dianggap baru untuk menyalurkan karya sastra (Anggoro, 2004).

Tema yang diusung oleh "sastrawan-sastrawan" yang tergabung dalam komunitas cyber sastra rata-rata adalah refleksi dari angkatan 2000. Namun, masih banyak "sastrawan" yang mempertahankan "tradisi lama." Sastrawan-sastrawan tersebut masih kokoh memegang norma, tema, dan aturan-aturan klasik. Ketidakmauan sastrawan untuk menerima inovasi dari generasi muda, menjadi hal menarik yang perlu dikritisi. Di sini, penulis menyebut para sastrawan yang mempertahankan tradisi lama sebagai sastrawan eksklusif.

MEMASUKKAN GAYA KLASIK DALAM KARYA SASTRA MODERN
Angkatan 2000 dapat dikatakan sebagai angkatan yang menempatkan perempuan dalam posisi puncak. Berbagai upaya dilakukan oleh para sastrawan guna menyejajarkan posisi perempuan dengan posisi laki-laki, salah satunya dengan karya sastra. Pengakuan terhadap cerita-cerita yang dibuat oleh kaum hawa dan menempatkannya setara dengan karya laki-laki dengan mengindahkan hegemoni gender adalah salah satu bukti riil.

Susilastuti (dalam Sugihastuti, 2002) menyatakan bahwa teori struktural bisa digunakan untuk menjelaskan sebab munculnya hierarki gender. Teori ini menjelaskan bahwa subordinasi perempuan bersifat kultural sekaligus universal. Tidak sedikit para sastrawan angkatan 2000 yang masih menganut teori struktural. Akibatnya karya-karya sastra yang dihasilkan masih menempatkan perempuan dalam sektor domestik dan laki-laki ke dalam sektor publik.
Penempatan perempuan dalam sektor publik diungkapkan Mer Magdal dalam cerpen "Dua Perempuan." Dalam cerpen tersebut diceritakan kegigihan perempuan dalam mencari nafkah melebihi leki-laki. Tokoh utama dalam cerpen tersebut menguasai aspek publik jauh di atas laki-laki, bahkan bisa dikatakan mendominasi.

Magdal menghapus budaya patriakhat yang ada di masyarakat, dan menggantikannya dengan emansipasi. Ia juga berhasil menolak anggapan kaum strukturalis yang menganggap peran perempuan hanya sebatas di sektor publik. Justru Megdal membalik pernyataan tersebut dengan menempatkan perempuan di sektor publik. Yang paling mengagumkan, ia menggambarkan perempuan yang hanya berkutat dalam sektor domestik sebagai perempuan gila.

Cerpen "Perempuan ke Seratus" karya Evi Idawati, sangat jelas menggambarkan bahwa perempuan masih menjadi objek laki-laki. Pengarang menempatkan posisi Nabila sebagai sosok yang mencoba mandiri dengan mencari penghidupan dengan bekerja di sebuah kantor. Posisinya sebagai bawahan mewajibkan dirinya patuh terhadap perintah atasan. Akhirnya ia tidak kuasa menolak ajakan atasannya untuk diajak tidur bersama.

Nabila juga dilukiskan sebagai perempuan yang kurang tegar dalam menghadapi cobaan kehidupan. Ia sering mencurahkan permasalahan kehidupannya pada atasannya. Nabila juga tidak bisa berkata "tidak" pada atasannya sehingga ia bisa terpedaya oleh bujukannya.
Kekolotan penulis cerita dalam cerpen ini adalah pemertahanan nilai-nilai klasik dalam cerita. Ia memposisikan Nabila sebagai perempuan yang lemah, hal ini sangat bertentangan dengan karakteristik angkatan 2000 yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan serta menyejajarkannya dengan laki-laki.

Kebertentangan cerpen ini dengan angkatan 2000 adalah pementahan atas teori penolakan perempuan atas dominasi laki-laki (Hellwig). Walaupun penulis mengungkapkan upaya Nabila dalam mempertahankan kehidupan, namun ia belum bisa mempertahankan idealismenya sebagai seseorang yang merdeka. Ketakutan-ketakutan dalam mengambil keputusan memperlemah posisinya sehingga ia menjadi tersubordinasikan.

Cerpen "Sumirah" karya Aris Kurniawan, malah lebih parah daripada "Perempuan ke Seratus." Aris benar-benar menempatkan perempuan dalam posisi nol (zero potition) yang tidak mempunyai bargaining potition dibandingkan laki-laki. Cerpen ini benar-benar berlawanan dengan pandangan umum angkatan 2000.

Aris membuang Sumirah ke status terendah dan terlemah. Ia dijadikan sebagai pembantu rumah tangga. Sumirah hamil karena perbuatan majikannya. Selain dijadikan pembantu, ia juga ditugasi melayani nafsu seks para juragannya (terselubung). Posisinya yang rendah membuatnya tidak memiliki "suara" di rumah majikannya. Bahkan ia memutuskan menyerah begitu saja. Sumirah semakin tidak berdaya ketika ia dianggap berhutang budi pada keluarga itu.

Sastra angkatan 2000 melihat feminis akhir-akhir ini sebagai sebuah resistensi kesadaran atas dominasi kuasa gender lewat radikalisasi pembongkaran berbagai tabu moral atas tubuh (dalam hal ini perempuan) dan seks (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0204/19/khazanah/lainnya05.htm). Aris mengingkari prinsip tersebut dengan menempatkan tokoh perempuan ke posisi terbawah.

Hampir sama dengan Evi Idawati dalam "Perempuan ke Seratus," Aris juga memberikan kesempatan tokoh perempuan untuk menjelajahi sektor publik. Namun, hal ini juga masih jauh dari yang diamanatkan oleh angkatan 2000. Sumirah diposisikan menjadi seseorang yang bekerja sebagai pembantu yang hanya berkutat pada persoalan domestik.

Menurut Soenarjati, pada awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengaranglaki-laki(http://www.kompas.com/kompascetak/0004/11/dikbud/krit09. htm). Sepertinya, Aris masih menganggap teori ini masih berlaku pada sastra angkatan 2000.
Aris juga masih menjunjung tinggi budaya patriakhat yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukannya sebagai inferior (Sugihastuti, 2002: 65). Sumirah dibuat sangat tidak berdaya menghadapi "kebuasan" para majikannya. Tidak hanya itu, ia juga tidak mampu mempertahankan eksistensi dirinya sebagai perempuan yang merdeka.

Cerpen yang dibuat oleh sastrawan eksklusif terekstrim adalah "Perempuan yang Mendera Luka" karya Maria Maghdalena Bhoernomo. Penggambaran perempuan dalam cerpen ini dapat diwakili oleh satu kata, "tragis." Betapa tidak, Maria pada awalnya menyajikan perempuan yang berani mendobrak tradisi dengan menuntut suaminya ke pengadilan sebab penganiayaan yang dilakukan atas dirinya.

Keberanian Maria sebagai pengarang tidak hanya sampai di sini, ia menggunakan kata-kata, tema, dan gaya penceritaan khas angkatan 2000. Pemilihan diksi yang berani dengan kevulgaran dan keseronokan yang dibumbui dengan humor akademis mampu menghadirkan keesan suspence dan foreshedoing bagi pembaca. Begitupula tema yang disuguhkan, sangat sesuai dengan karakteristik angkatan 2000. Tidak ketinggalan gaya penceritaan yang bisa membuat pembaca terhentak karena mampu memainkan emosi.

Kementahan cerpen ini terdapat pada akhir cerita. Maria menginjak-injak harga diri seorang perempuan dengan alasan sederhana, sampai kapanpun perempuan akan tetap membutuhkan pelayanan seks dari lelaki. Tokoh perempuan dibuat tidak berdaya ketika suaminya dipenjara, karena ia membutuhkan dan merindukan kehadiran suaminya. Parahnya, semua idealisme tokoh di awal cerita terkikis habis dan tidak bersisa. Gugatan atas suaminya di pengadilan atas penganiayaan yang dilakukan dicabut. Selain itu, ia juga membatalkan tuntutan cerai yang dilayangkan ke suaminya, bahkan, berjanji akan setia dengan menunggu dan menerima suaminya dalam kondisi bagaimanapun.

Tidak jauh dari sastrawan-sastrawan eksklusif lainnya, Maria juga masih menempatkan perempuan sebagai inferior. Teori struktural dan budaya patriakhat masih dianggap sebagai refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ketidakmauan menerima budaya baru yang menempatkan perempuan dalam posisi puncak menjadi salah satu sisi negatif cerita yang ia buat.

SASTRAWAN EKSKLUSIF, "CAPEK DEH"
Penggambaran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia dan sejauh mana gambaran tersebut membantu menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indonesia. Hal ini bertolak dari hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma patriarkhal mendominasi sastra Indonesia (http://www.kompas.com /kompas-cetak/0412/18/pustaka/1444335.htm).

Cerpen-cerpen yang dianalisis dalam kritik ini merupakan representasi dari kehidupan perempuan di Indonesia zaman klasik dan kurang berlaku lagi pada era sekarang ini. Beberapa sastrawan telah mencoba dan berhasil mengcover kehidupan perempuan Indonesia mutakhir dari sudut pandang yang berbeda-beda. Hal ini jauh lebih menarik daripada menceritakan hal-hal-hal lama di era baru.

Ketiga cerpen di atas merupakan sebagaian kecil dari cerpen-cerpen sastra yang dimuat di dunia maya. Tanpa menafikan cerpen-cerpen yang sudah sesuai dengan keberadaan angkatan 2000, cerpen-cerpen seperti itu perlu dikritisi. Sebenarnya sangat ironis, ketika masih ada sastrawan-sastrawan yang tetap mempertahankan keeksklusifannya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra ke depan.

Dua novel Pramoedya, Gadis Pantai dan Bumi Manusia, telah mendapatkan perhatian besar dalam kaitannya dengan wacana gender dan feminisme. Karya Pramoedya yang lain juga menggarisbawahi besarnya peranan perempuan dalam melakukan pembacaan ulang atas citra-citra perempuan, khususnya perempuan Jawa, dalam berhadapan dengan sistem nilai yang feodal sekaligus berada dalam ketegangan kolonial.

Perempuan telah menanggung beban yang paling berat atas kedua sistem nilai tersebut. Akan tetapi, harus ditandai dengan tegas pula bahwa perempuan sebagai tokoh-tokoh yang melihat beban dan subordinasi yang mereka alami itu bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah seharusnya begitu. Sebaliknya, mereka mengolah beban dan subordinasi itu menjadi energi untuk membangun kekuatan, yang tidak saja dapat mengubah hidupnya, melainkan juga hidup orang-orang lain di sekitarnya.

Pembaharuan yang dilakukan oleh angkatan 2000 dalam upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan terkadang dimentahkan oleh beberapa "sastrawan." Pementahan-pementahan tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki yang anti terhadap konsep kemajuan, namun juga dilakukan oleh kaum perempuan.

Dalam pandangan Elain Showalter, ada sejumlah tahapan yang terjadi dalam perkembangan kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis, menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis. Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria memandang dan menggambarkan perempuan. Tahap kedua, perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perempuan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan masalah-masalah teoretis, merevisi berbagai asumsi teoretis yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki (http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0412/18/pustaka/1444335.htm).

Seorang laki-laki memiliki kecenderungan mengapresiasi perempuan dari hasil observasi dan pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan perempuan. Adapun seorang perempuan akan menggambarkan sosok seorang perempuan dari aktualisasi diri ke dalam cerita. Antara laki-laki dan perempuan akan memiliki pandangan yang berbeda tentang pendiskripsian sosok perempuan.

Sastrawan eksklusif akan menggunakan cara-cara lama yang sudah dikenal dan berkembang di masyarakat dalam mengemukakan idenya. Mereka akan sulit menerima hal-hal baru karena dianggap tidak lazim atau bahkan tabu. Keberadaan sastrawan eksklusif dalam suatu angkatan bukan merupakan representasi aktual dan faktual dari realita yang terjadi di masyarakat.
Menukil pendapat Herfanda, karya sastra yang dimuat dalam situs-situs sastra masih ada yang "bukan sastra." Karya-karya "sastrawan" itu seharusnya lebih layak dimasukkan ke tong sampah daripada dipublikasikan. Karya sastra ini adalah karya-karya buangan yang tidak tertampung oleh media cetak dan menganggap situs sastra sebagai alternatif sarana publikasi (Situmorang, 2004: 69-74).

Secara ekstrim dapat dikatakan sastrawan eksklusif bukanlah suatu bagian dari suatu angkatan. Mereka akan menjadi suatu komunitas tersendiri yang tetap mempertahankan kekhasan yang ada. Ketika dipaksa masuk ke wilayah baru (sesuai dengan perkembangan zaman), mereka akan merasa aneh dan asing. Sangat besar kemungkinan pendapat Herfanda di atas ditujukan pada -salah satunya- sastrawan eksklusif.

Di satu sisi, sastrawan eksklusif tidak akan mahu meninggalkan dunia sastra, namun di sisi lain mereka telah tertinggal jauh. Mereka akan mengapresiasi sastra sesuai dengan kemauan mereka sendiri, karena hanya dengan cara itulah mereka mendapat kepuasan. (ARIF).


DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Donny. 2004. Sastra yang Malas, Obrolan Sepintas Lalu. Solo: Tiga Serangkai.
Situmorang, Saut (ed). 2004. Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: Jendela.
Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fokus Sastra Indonesia 2004, Sastra Feminis Dalam Tiga Diskusi. .
Kritik Sastra dalam Prespektif Feminis. .
Perempuan dalam Sastra Indonesia, Perjalanan dari Objek ke Subjek. .
Perempuan,Seks,Sastra.http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0424/bud2.html. Diakses 23 April 2007.

INTERFERENSI KLITIK "TAK"

Klitik "tak" dalam Bahasa Indonesia akibat Interferensi Bahasa Jawa
Oleh : Arif Irfan Fauzi

Dalam konteks berbahasa secara lisan, kita sering menemukan seseorang menggunakan klitik "tak." Bahkan kita juga sering menggunakannya. Kata-kata seperti tak cubit, tak bawa, tak jemput, tak suruh dan sebagainya secara spontan keluar dari mulut kita.

Jika dianalisis secara keilmuan, klitik "tak" tidak terdapat dalam kaidah berbahasa Indonesia. Dalam kaidah, kita mengenal dua pembagian klitik, yaitu pro klitik dan end klitik. Pro klitik meliputi persona pertama (saya, aku, ku, kami, kita), persona kedua (engkau, kamu, anda, dikau, kau, kalian) dan persona ketiga (ia, dia, beliau, mereka). Sedangkan end klitik meliputi persona pertama (-ku), persona kedua (-mu) dan persona ketiga (-nya). Untuk penulisan pro klitik, ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Adapun penulisan end klitik ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.

Kemunculan klitik "tak" (diidentifikasi sebagai pro klitik), merupakan interfensi dari kaidah bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa sering ditemukan kata-kata yang menggunakan klitik tersebut, seperti : tak woco (saya baca), tak resiki (saya bersihkan), tak tinggal (saya tinggal), dan sebagainya. Kemunculan klitik tersebut ke dalam bahasa Indonesia, pada mulanya hanya digunakan oleh orang-orang Jawa. Seperti yang kita ketahui, bahwa jumlah penutur bahasa Indonesia sekitar tujuh puluh persen tinggal di Pulau Jawa. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan klitik ini cepat sekali memasyarakat.

Selama ini, yang dijadikan alasan oleh pengguna klitik "tak" adalah kesamaan makna. Klitik "tak" memiliki kesamaan dengan pro klitik persona pertama (tunggal). Kata tak pukul memiliki makna sama dengan kata saya pukul, kata tak jemput bermakna sama dengan kata saya jemput dan sebagainya.

Sejauh ini penggunaan klitik "tak" hanya sebatas dalam komunikasi lisan, belum merambah ke komunikasi tulis (dalam konteks resmi). Sikap tegas dari pemakai dan pemerhati bahasa sangat diperlukan agar tidak berkembang dan mencemari bahasa Indonesia.

PSIKO ANALISIS VS PSIKOKRITIK

PSIKOANALISIS MELAWAN PSIKOKRITIK MAURON
Oleh: Arif Irfan Fauzi

PENDAHULUAN
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik.

Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Teori pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif.

Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.

Psikologi dalam sastra lebih menitikberatkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.

Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwasan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan terampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Karya sastra dan psikologis memiliki keterkaitan secara erat baik secara tidak langsung maupun fungsional. Pertautan tidak langsung, karena kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia. Adapun hubungan fungsional lebih ditekankan pada kesamaan untuk mempelajari gejala kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi bersifat riil, sedangkan dalam sastra lebih bersifat imajinatif.

Teori yang masih digunakan dalam kajian psikologi adalah psikoanalisis yang ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sering berada dalam kondisi tidak sadar. Adapun kondisi sadar sangat sedikit ditemukan dalam kondisi mental manusia. Teori ini menarik untuk dikaji, bukan hanya karena memiliki hubungan yang erat dengan sastra, akan tetapi juga dikarenakan eksistensi teori ini sampai sekarang.

PEMBAHASAN
Hubungan sastra dengan Psikoanalisis
Telah diungkapkan di atas bahwa manusia sering dalam kondisi tak sadar (alam bawah sadar) daripada kondisi sadar. Ketidak sadaran ini akan menyublim ke dalam proses kreatifitas pengarang. Dalam proses penciptaan tokoh misalnya, pengarang sering menggunakan daya imajinasinya seolah-olah sedang berhadapan dengan realitas. Semakin jauh lagi, sering pengarang merasakan larut pada cerita-cerita fiktif yang ia buat sendiri.
Dalam kajian psikologi sastra, kepribadian manusia yang dianalisis melalui teori psikoalalisis dibagi menjadi tiga yaitu, id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini saling berkaitan erat sehingga merupakan suatu totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.

Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.

Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).

Milner dalam Endraswara (2003: 101-102) menyatakan bahwa hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca. Hal ini dikarenakan karya sastra mampu menyentuh dan memberikan solusi terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.

Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.

PSIKOKRITIK MAURON
Carles Mauron, pada tahun 1948 mencoba membangun suatu psikokritik yang tidak melalui psikobiografi. Ia menolak keterlibatab psikoanalisis-medis yang telah terlalu jauh mengintervensi kritik sastra. Hasil-hasil kerja beberapa kritikus terhadap karya-karya sastra ditolaknya, karena mereka meletakkan muasal karya dalam bingkai konflik kejiwaan masa kecil sehingga memunculkan konsep tel enfant, tele ouvre (begitulah masa kecilnya, begitu pulalah karya yang dihasilkannya) menjadi semacam model.

Mauron memberikan tawaran lebih baik daripada membaca biografi pengarang yaitu dengan membaca seluruh karya pengarang tersbut. Setelah itu baru kemudian membaca kehidupan pengarang. Prinsip yang diberlakukan sangatlah sederhana, lakukan perbandingan antara aku sebagai pembaca dan aku dalam kehidupan sosial. Keduanya adalah kesatuan dalam fantasme dan komunikasi antara kedua kutub tersebut terjalin secara transadar.

Psikokritik Mauron adalah usaha pembuktian bahwa transadar pengarang adalah benar-benar muara karya, dan karya sastra tersebut membangun struktur transadar serta mengukuhkan konflik dalam bentuk asalnya. Jadi dengan menulis, seorang pengarang menjalani proses pengenalan diri transadarnya. Maka bukanlah hidup yang memberikan arti pada karya, namun karyalah yang memberikan arti kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Rokhman, Arif. Dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Ronidin. 2006. Menggagas Kritik Sastra Islami. http://sasindo.unad.ac.id/?IDSUB =63 &MENU=63&SET=2&ITEM. Diakses 6 Mei 2007.
Saparie, Gunoto. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. http://www.suarakarya.online.com. Diakses 6 Mei 2007.
Siswi SMK YDPP MM 52 Yogyakarta.2003.Tinjauan Psikologis Tokoh Rivai Dalam Novel Deviasi dan Delusi. http://www. Republika.co.id. diakses 6 Mei 2007.

PENULISAN KATA MAJMUK

Kata Majmuk Bersimulfiks Harus Ditulis Terpadu
Oleh : Arif Irfan Fauzi

Masih banyak kita temui beberapa tulisan yang dalam menuliskan simulfik atau lazim disebut konfiks (gabungan antara awalan dan akhiran) masih dipisah. Misal, Pertanggung jawaban, menumbuh kembangkan, pengembang biakan, menganak tirikan, meluluh lantahkan, membumi hanguskan, dan sebagainya. Penulisan kata-kata tersebut tidak benar dan perlu dibenarkan.

Bila kita lihat dalam kaidah bahasa Indonesia, kata majmuk berasal dari dua kata yang membentuk arti baru. Walaupun secara fakta kata majmuk dibangun dari dua kata, akan tetapi diidentifikasi sebagai satu kata. Dalam hal penulisan kata majmuk, bila antar kata memiliki keeratan atau kesenyawaan maka ditulis serangkai. Akan tetapi bila kedua kata pembangun bersifat lentur, maka bisa ditulis terpisah. Misal, matahari, segitiga, olahraga, pancasila, purbakala, rumah sakit, sapu tangan, kaca mata.

Pada kata majmuk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam kalimat harus ditambah dengan afiks. Kata majmuk yang mengalami peristiwa afiksasi berupa simulfik, maka penulisannya harus dirangkai. Hal ini tidak terkecuali pada kata majmuk yang unsur pembangunnya bersifat lentur. Perhatikan beberapa contoh berikut ini, menumbuhkembangkan, pertanggungjawaban, mengolahragakan, menyegitigakan, menaikturunkan, menghitamlegamkan. Lain halnya bila kata majmuk itu hanya kemasukan afiks berupa prefiks atau sufiks, komponennya tetap ditulis terpisah. Misal, membagi rata, membalas budi, memukul mundur.

Akhir-akhir ini, banyak orang mengambil jalan pintas dengan membuat kaidah sendiri. Mereka tidak mau merangkai kata majmuk yang bersimulfik, malah meletakkan simulfik pada kata pertama lalu memisah kata majmuk. Misal, pertanggungan jawab, melipatkan gada, menyebarkan luas, mengikutkan serta dan sebagainya. Hal tersebut juga tidak bisa dibenarkan, sebab kata-kata tersebut bila ditinjau dari aspek kebahasaan sangat rentan kesalahan. Perhatikan struktur dan makna yang dibentuk, kata-kata tersebut tidak bisa mewakili makna yang diacu. Lebih jauh lagi, akan terjadi kerancuan dalam kalimat (bila dipakai dan diterjemahkan secara kontekstual).

STRUKTURALISME GENETIK

STRUKTURALISME GENETIK
JAWABAN ATAS KEKURANGAN-KEKURANGAN
STRUKTURALISME OTONOM
Oleh : Arif Irfan Fauzi

PENGANTAR
Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).

Pernyataan di atas berimplikasi bahwa sastra sesungguhnya adalah lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.

STRUKTURALISME OTONOM
Strukturalisme otonom memusatkan pada perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang adas di luar struktur signifikasinya.

Strukturalisme berpendapat bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan teks karya sendiri (Sayuti, 2001: 66-69). Pengkajian terhadapnya hendaknya diarahkan pada bagian-bagian karya yang menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu merupakan bagian-bagian. Pandangan ini merupakan reaksi dari pandangan mimesis dan romantik yang menekankan karya sebagai tiruan objek-objek di luarnya, dan oleh karena itu, penilaian lebih menekankan pada aspek ekspresifitas. Maksudnya, lebih menekankan pada biografi pengarang dan sejarah karya sastra.

Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur (Peaget dalam Jabrohim, 2001: 56). Ketiga unsur tersebut adalah pertama, gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian-bagian atau analisirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu sebuah struktur menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus sehingga memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang berasal dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya.

Suatu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Suwondo, 2001: 55). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa untuk memahami makna, karya sastra harus terlepas dari latar belakang sejarah,niat penulis, dan lepas dari efek pembacanya.

Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri, kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.

Dalam perkembangannya pendekatan ini dirasa kurang valid dalam pemberian makna terhadap karya sastra. Apabila sastra hanya dipahami dari unsur intrinsiknya saja, maka karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal pada hakikatnya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptaan karya tersebut. Oleh karena itu pendapat kaum strukturalisme murni/ otonom banyak mendapat kritikan oleh penganut strukturalisme genetik.

STRUKTURALISME GENETIK
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan sebagai pendekatan objektif. Menyikapi yang demikian, Iswanto pernah mengutip pendapat Juhl (2001: 62) penafsiran terhadap karya sastra yang menafikan pengarang sebagai pemberi makna sangat berbahaya pemberian makna, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas , kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dianut oleh pengarang. Secara gradual dapat dikatakan bahwa jika penafsiran itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya di dalam jajaran signifikan penafsiran. Objektifitas penafsiran sebuah karya sastra akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca di dalam penafsiran karya sastra.

Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman, seorang sastrawan yang berasal dari Perancis. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini mengoreksi pendekatan strukturalisme otonom dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Genetik diartikan sebagai asal-usul karya sastra yang meliputi pengarang dan realita sejarah yang turut mendukung penciptaan karya sastra tersebut.

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akang dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang.

Kecenderunga ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra, pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.
Secara sederhana pendekatan strukturalisme genetik diformulasikan sebagai berikut. Pertama difokuskan pada kajian intrinsik karya sastra, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang, karena ia adalah suatu bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang ikut mengondisikan terciptanya karya sastra. Dari ketiga cara tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik.

Pendekatan strukturalisme genetik memiliki nilai yang lebih daripada strukturalisme strukturalisme otonom. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa selain menelaah struktur pembangun karya dari dalam, apresiator harus memasukkan faktor-faktor dari luar. Dengan ini diharapkan akan timbul sebuah kesadaran bahwa karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan memadukan antara kreativitas dan faktor imajinasi yang tentunya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Jabrohim (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.
Rokhman, Muh. Arif, dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Iswanto, Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik.
Sayuti, Suminto A. Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra.
Suwondo, Tirto. Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra.

KOMPARASI CERPEN 2000

STUDI KOMPARASI CERITA PENDEK ANGKATAN 2000
(KAJIAN SOSIOPSIKOLOGIS)
Oleh : Arif Irfan Fauzi

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu unsur yang terkandung dalam sebuah karya sastra adalah unsur kehidupan sosial-budaya serta ragam sikap pengarang terhadapnya (Aminuddin, 2004:186). Setiap pengarang memiliki pandangan berbeda terhadap realita sosial yang terdapat di sekelilingnya. Pengarang pun memiliki kekhasan dalam menyajikan sebuah fenomena kepada pembaca. Kekhasan ini tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Hak mencipta bagi pengarang bersifat tak terbatasi, sehingga ia bisa menggambarkan apapun dalam bentuk yang bagaimanapun.

Pengarang-pengarang angkatan 2000 terkenal sebagai revolusioner dalam bidang sastra. Dikatakan demikian dikarenakan perbedaan ciri yang sangat menonjol dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Angkatan ini terkenal memiliki sastrawan yang (1) bergaya bahasa fulgar --baik pengarang laki-laki maupun perempuan,-- (2) tema lebih umum dan pembahasan dalam karya lebih tajam, serta (3) kebebasan berekspresi dalam mencipta karya. Salah satu pembeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya adalah setiap pengarang memilki kekhasan serta daya tarik tersendiri dalam setiap karya yang dihasilkan.

Ketajaman angkatan 2000 tidak hanya tampak pada novel, puisi, dan drama. Cerita pendek sebagai salah satu cabang dari novel juga memiliki ciri yang serupa. Selain cerita yang dipublikasikan dalam bentuk naskah atau kumpulan naskah, cerita pendek dalam dunia maya (cyber short story) juga memiliki penanda yang sama dengan genre sastra lain.

Terdapat banyak alat (ilmu) yang bisa digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap gejala-gejala yang terdapat dalam karya sastra. Salah satu diantaranya adalah sosiopsikologis. Ilmu interdisipliner ini merupakan gabungan dari ilmu sosiologi dan psikologis. Ilmu sosiologi digunakan sebagai alat mengkaji bidang-bidang sosial budaya yang terdapat dalam karya sastra. Adapun gejala psikis dalap dianalisis dengan ilmu psikologi. Aminuddin (2004:186) berpendapat bahwa puisi dan prosa fiksi bisa dikaji dengan menggunakan ilmu sosiopsikologi.

Ketika mengapresiasi karya sastra, pembaca sering menemukan perbedaan cara pengungkapan pribadi tokoh oleh pengarang. Seorang pengarang laki-laki akan berbeda cara menggambarkan tokoh dengan pengarang perempuan. Dalam makalah ini, penulis mengkomparasikan antara pencitraan tokoh yang oleh pengarang laki-laki dan perempuan.

Populasi dalam tulisan ini adalah semua pengarang cerpen dan karyanya dalam angkatan 2000. Adapun sampel yang menjadi objek analisis adalah Sri Lestari dengan cerpennya berjudul Daging dan Adhyra dengan cerpennya Sang Buron.

B. RUANG LINGKUP DAN PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan media yang digunakan, cerita pendek dapat disampaikan dengan dua media (1) konfensional –naskah, dan (2) nonkonfensional (cyber/ virtual short story). Cara konfensional dibagi menjadi dua (1) satu naskah berisi satu cerpen, dan (2) satu naskah berisi kumpulan cerpen. Sedangkan pada cara nonkonvensional, kelaziman yang sering ditemukan adalah kumpulan cerpen dalam satu situs.

Angkatan 2000 dimulai pada awal tahun 2000, sekarang (tahun 2006) para sastrawan masih dapat digolongkan dalam angkatan tersebut. Hal ini mengacu pada sebuah ungkapan H.B. Jassin yang berpendapat adalah usia maksimal sebuah angkatan adalah sepuluh tahun. Selain itu ciri-ciri yang melekat pada karya sastra masih memiliki kemiripan.

Tinjauan sosiopsikologis adalah sebuah ilmu interdisipliner yang terdiri dari ilmu sosiologis dan psikologis. Kajian psikologi sosial mengarah pada dua ranah: (1) tinjauan secara mikro, dan (2) tinjauan secara makro. Tinjauan mikro meliputi (1) persepsi, (2) apersepsi, (3) motif/ niat, (4) motivasi, dan (5) sikap. Adapun tinjauan secara makro terdiri atas (1) konflik, (2) cinta, (3) perasaan, dan (4) agresi. Masing-masing bidang ilmu memiliki penjabaran yang sangat luas, namun penulis membatasi pada aspek psikologis yang melatarbelakangi pengarang memberikan suatu citra pada tokoh.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana wujud pencitraan sosial yang diungkapkan oleh Sri Lestari dalam cerpen Daging ditinjau dari prespektif psikologis?
2. Bagaimana wujud pencitraan sosial yang diungkapkan oleh Adhyra dalam cerpen Sang Buron ditinjau dari prespektif psikologis?
3. Bagaimana komparasi terhadap pencitraan yang dilakukan oleh pengarang laki-laki dan pengarang perempuan berdasarkan tinjauan psikologis?

D. TINJAUAN PUSTAKA
Kajian sosiopsikologis memiliki alat (berupa teori) yang sangat banyak untuk menafsirkan motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Dalam tinjauan pustaka berikut akan penulis sampaikan beberapa teori yang mendukung analisa dalam bab pembahasan.

Sosialisasi merupakan proses belajar masyarakat suatu kelompok kebudayaan tentang nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat itu (Hanurawan, 2001: 36). Penekanan pada tindak sosialisasi menurut pendapat di atas adalah proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat. Melalui sosialisasi seorang individu dapat mengembangkan cara berfikir, berperasaan dan berperilaku.

Sinonim kata sosialisasi adalah interaksi sosial. Pengertian istilah interaksi sosial yang dikemukakan oleh Bonner adalah hubungan antara dua atau lebih individu, dimana tingkah laku individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki tingkah laku individu yang lain atau sebaliknya (Dayakisni, 2001: 66). Pengertian ini memiliki tinjauan berbeda dengan pengertian pertama. Penekanannya adalah perubahan dalam diri seseorang melalui interaksi dengan orang lain.

Terdapat beberapa bentuk dasar interaksi sosial yang merupakan pendapat dari beberpa tokoh. Apabila disimpulkan, interaksi sosial meliputi (1) imitasi, (2) sugesti, (3) identifikasi dan (4) simpati (Dayakisni, 2001: 66-68).

Dampak imitasi terhadap diri seseorang ada dua yaitu (1) dampak positif dan (2) dampak negatif. Dampak positif terjadi ketika sesuatu yang diimitasikannya adalah hal-hal yang baik. Sebaliknya dampak negatif muncul ketika sesuatu yang diimitasikannya adalah hal-hal buruk.

Gerungan membedakan definisi antar imitasi dan sugesti. Imitasi merupakan proses peniruan terhadap sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Sedangkan sugesti adalah suatu proses pemberian pandangan atau sikap dari diri seseorang terhadap orang lain di luar dirinya (Dayakisni, 2001: 67).

Teori lain berkenaan dengan psikologi sosial adalah berkenaan dengan sikap (attitude) seseorang. Secara definitif sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan bertindak untuk bereaksi terhadap rangsang (Dayakisni, 2001 : 51). Tindakan yang dihasilkan merupakan renspnsif dari stimulus yang dilakukan oleh orang lain.

Sedikitnya terdapat empat fungsi sikap. Fungsi-fungsi tersebut meliputi (1) fungsi penyesuaian diri, (2) fungsi pertahanan diri, (3) fungsi ekspresi nilai dan (4) fungsi pengetahuan (Hanurawan, 2001 : 44).

Terdapat perbedaan antar fungsi penyesuaian diri dengan fungsi pertahanan diri. Penyesuaian diri berarti orang cenderung mengembangkan sikap untuk mencapai tujuannya. Sedangkan fungsi pertahanan diri lebih mengacu pada sikap lebih melindungi seseorang dari keharusan untuk mengakui mengakui kenyataan pada dirinya.

Begitu pula dengan fungsi ekspresi nilai dengan fungsi pengetahuan yang memiliki definisi yang berbeda. Fungsi ekspresi nilai berarti bahwa sikap membantu ekspresi positif nilai-nilai dasar seseorang, memamerkan citra dan aktualisasi diri. Sedangkan fungsi pngetahuan lebih menitik beratkan pada sikap membantu seseorang dengan enerapkan standart evaluasi terhadap sesuatu hal.

Suatu serangan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, obyek lain, atau bahkan pada dirinya sendiri adalah pengertian dari agresi (Dayakisni, 2001 : 96). Agresi juga merupakan kajian dalam psikologi sosial yang akan menjadi alat memahami motif seseorang melakukan sesuatu. Wujud agresi bermacam-macam, tergantung pelaku dan keadaan jiwanya pada saat itu.
Teori terakhir yang penulis pergunakan dalam menganalisis motif pengarang terhadap tokoh adalah teori daya tarik interpersonal. Pengertian daya tarik interpersona adalah ketertarikan suatu individu pada individu lain. Ketertarikan ini diartikan secara luas, bukan hanya nafsu atau cinta saja. Adapun motif yang melatarbelakangi daya tarik interpersona adalah (1) kesamaan, (2) kedekatan, (3) keakraban, (4) daya tarik fisik, (5) kemampuan, (6) tekanan emosional, (7) munculnya perasaan atau mood positif dan (8) harga diri yang rendah.

Sedikitnya terdapat tiga syarat untuk mengkategorikan suatu tindakan sebagai perilaku agresi. Ketiga syarat tersebut adalah (1) niat pelaku –benar-benar ingin berbuat agresi, bukan karena ketidaksengajaan--, (2) terdapat keinginan bahwa dengan perilakunya dapat menimbulkan penderitaan atau kerusakan pada diri obyek atau ssaran, (3) keinginan obyek sasaran untuk tidak menghindari perilaku merugikan yang dilakukan oleh pelaku agresi (Hanurawan, 2001 : 53).

E. PEMBAHASAN
E.1 Wujud Pencitraan Sosial yang Diungkapkan oleh Sri Lestari dalam Cerpen Daging serta Tinjauan dari Prespektif Psikologis
E.1.1 Interaksi Sosial
Merujuk pada definisi yang dipaparkan oleh Dayakisni di atas, tujuan dari proses interaksi sosial adalah untuk mengubah perilaku orang lain. Dalam cerpen Daging karya Sri Lestari terdapat beberapa kutipan yang mendukung pendapat di atas.

Kutipan pertama, ketika kondisi Karti semakin memburuk dan Udin terus meminta emaknya untuk segera membawa adiknya ke dokter. Emak yang sangat mengetahui kondisi keluarga malah menyuruh Udin untuk tidur. Ia mempersuasi Udin dengan keinginan Udin sendiri (membelikan Karti soto daging). Padahal secara psikis ia tidak mau tertekan oleh ucapan-ucapan anaknya yang belum mengerti kondisi keluarga.

"Tidurlah. Jangan terus bicara kalau kau ingin membawa Karti ke dokter dan membelikannya soto daging besok."

Udin terdiam. Memandangi maknya sekejap lalu membaringkan tubuhnya di lantai tanah. Merapat ke dinding kardus yang basah. Kain sarung kumal melindungi tubuh kurusnya yang terus mengigil. Matanya berkedip-kedip. Perlahan ia mencoba memejamkan mata. Hatinya berjanji. Besok, ia harus mendapatkan uang untuk membawa Karti ke dokter dan membeli soto daging!

Perintah emak ke Udin agar cepat tidur dapat dikategorikan sebagai salah satu wujud interaksi sosial. Motif yang ingin dicapai adalah agar Udin tidak terus mendesaknya membawa Karti ke dokter. Interaksi ini berhasil, terbukti Udin mahu menuruti apa yang dikatakan emak untuk tidur.
Proses psikis yang terjadi adalah sugesti kompleks. Dikatakan demikian karena banyak unsur sugesti yang digunakan emak kepada Udin. Sugesti itu adalah (1) sugesti karena hambatan berfikir --emak memberikan alasan agar Udin mau berfikir dan ia bisa menerima alasan yang dikemukakan oleh emak,-- (2) sugesti karena pikiran terpecah --Udin sedang memikirkan banyak hal begitu pula dengan emak, akan tetapi emak lebih menguasai keadaan sehingga mampu mesugesti Udin agar mahu tidur,-- dan (3) sugesti karena otoritas –posisi emak dalam keluarga di atas Udin yang hanya sebagai anak. Kondisi-kondisi tersebut di atas mampu mempengaruhi seseorang agar menuruti keinginan pensugesti.

Kutipan kedua, proses interaksi sosial terjadi di pasar. Seorang perempuan menawar harga daging namun penjual tidak mau menurunkan dengan menggunakan alasan-alasan. Motif yang bisa dibaca adalah dengan menawar diharapkan bisa mendapatkan harga semurah mungkin. Sedangkan pembeli tidak mau menurunkan harga karena ingin mendapat untung yang berlimpah.

"Sekilo limapuluh ribu, Bu. Maklumlah BBM naik, semua harga juga naik." Hari sedang menuju senja. Gerimis masih berderai. Pasar hiruk pikuk. Semrawut. Angin lembab meruapkan bau busuk sampah yang bertumpuk. Udin menghentikan langkahnya di blok penjual daging. Berdiri mematung. Menatap seorang wanita gemuk berambut keriting yang sedang memilih daging sapi segar sambil menawar-nawar harga.

Rasionalisasi yang dilakkan oleh penjual berhasil. Pembeli tetap membeli daging yang ia jual dengan harga yang ditentukannya. Proses interaksi sosial berlangsung kompleks. Pembeli mempengaruhi penjual agar harganya turun sedangkan penjual tetap menginginkan harga yang ia tawarkan.

Dalam hal ini telah terjadi proses sugesti karena hambatan berfikir yang dimenangkan oleh penjual. Penjual mengambil alih pandangan-pandangan pembeli tentang mahalnya harga daging dengan memberikan alasan-alasan yang masuk akal. Pembeli yang dalam kondiri minim informasi bisa menerima penjelasan dari penjual dan akhirya tetap membeli daging.
Kutipan ketiga, ketika Udin melamun dan seorang perempuan meminta bantuan membawakan barang belanjaannya ke depan pasar. Udin yang mematung dihardik oleh seorang preman pasar. Ia kemudian segera membawakan barang bawaan perempuan tadi.

"Bawakan barang saya sampai depan pasar!" Udin masih mematung dengan tangan merabai saku celana ketika seorang lelaki menghardiknya. "Heh! Tuli kau!? Atau tak mau uang?" Udin hampir terjatuh di sodok lengan preman pasar yang kekar itu. Buru-buru ia menghampiri wanita gemuk berambut keriting yang tadi membeli daging.

Dalam kutipan ini, interaksi sosial terjadi antar tiga orang, perempuan yang membawa barang belanja, preman, dan Udin. Proses psikologi yang terjadi adalah sugesti disertai dengan agresi. Sugesti pertama dilakukan oleh sang perempuan dengan sugesti otoritas. Ia memiliki uang uantuk mengupah Udin. Sugesti kedua yang disertai dengan prilaku agresi dilakukan oleh preman pasar kepada Udin. Sama seperti perempuan di atas, ia melakukan sugesti otoritas yaitu mengandalkan kedudukannya sebagai "penguasa." Ia pun melakukan agresi dengan menyodok Udin.
Agresi yang dilakukan oleh perempuan dan preman pasar ke Udin membuahkan hasil. Udin membwakan barang belanjaan perempuan tadi ke depan pasar dan memperoleh upah. Hal ini didukung oleh kutipan di bawah ini.

"Ini upahmu!" Wanita gemuk berambut keriting itu mengangsurkan dua lembar uang kertas kumal seribuan pada Udin. Dua ribu rupiah? Udin mengamat-amati dua lembar uang kumal itu. Harga-harga naik begitu mahal, tapi upahnya membawakan barang-barang belanjaan tak pernah naik dari tahun ke tahun. Tetap saja dua ribu rupiah. Atau paling banyak lima ribu rupiah kalau pemilik barang yang dibawakannya penuh belas kasihan.

E.1.2 Sikap (Attitude)
Sikap yang akan dibahas pada sub bab berikut adalah tokoh-tokoh yang memiliki sikap menonjol. Jadi tidak semua tokoh yang akan dianalisis sikapnya. Tokoh-tokoh yang menjadi objek adalah Udin, emak, preman pasar, dan nyonya Maliana.

Tokoh Udin memiliki sikap tanggung jawab pada keluarga. Di saat adiknya sakit dan emaknya dalam kondisi lemah, ia menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai kuli angkut di pasar. Sebagai orang yang satu-satunya sehat dalam keluarga, didukung ia adalah anak lelaki satu-satunya, Udin memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya. Hal ini diperparah dengan bapak Udin yang belum pulang dari penjara.

"Karti harus dibawa ke dokter, Mak."
"Kalau Bapak tak masuk penjara, pasti bisa membawa Karti ke dokter. Juga membelikan soto daging ya, Mak? Dulu, Bapak selalu pulang membawa makanan setiap hari. Aku tak percaya Bapak mencuri seperti yang dituduhkan orang-orang pasar."
...

Tanpa banyak kata Udin mengangkat tiga tas belanjaan di depannya. Urat-urat di kedua tangannya yang kurus langsung bertonjolan keluar karena beban berat yang sangat. Namun Udin tak perduli.

Harga-harga naik begitu mahal, tapi upahnya membawakan barang-barang belanjaan tak pernah naik dari tahun ke tahun. Tetap saja dua ribu rupiah. Atau paling banyak lima ribu rupiah kalau pemilik barang yang dibawakannya penuh belas kasihan.
...

Selain beberapa sikap di atas, Udin memiliki kemauan untuk menepati janji. Udin telah berjanji pada adiknya, Karti, untuk memberikan soto daging dan membawa berobat ke dokter. Ketika Udin belum bisa menepati janji, ia merasa bersalah, namun ketika janjinya terlunasi ia merasa bahagia.

Limapuluh ribu? Meski tak tamat sekolah dasar, Udin mengerti jumlah itu tidak sedikit. Ia meraba saku celana pendeknya. Beberapa uang receh sisa membeli nasi bungkus kemarin masih di sana. "Ah, mana mungkin membeli daging dengan uang receh ini?" keluh hatinya. Sedangkan hari ini belum ada seorang pun membeli tas kresek hitamnya atau memintanya membawakan barang-barang belanjaan.

Karti sakit. Demamnya tak juga mereda meski sudah diberi obat toko. Bagaimana caranya membawa Karti ke dokter? Berapa harga periksa dan obat dokter sekarang ini? Berpikir tentang beras, minyak dan garam saja sudah kelimpungan. Beban bertumpuk. BBM naik lagi. Harga-harga menggila. Anak laki-lakinya yang beranjak sebelas tahun, Udin, tak selalu pulang membawa uang dari pekerjaannya menjual plastik kresek hitam dan membawakan barang-barang belanjaan ibu-ibu di pasar.
....

Maka, sore itu satu janji Udin telah lunas. Membelikan soto daging untuk adiknya. Tinggal satu janji lagi. Membawa Karti ke dokter. "Ah, semoga Karti cepat sembuh dan tak perlu ke dokter," bisiknya lirih sambil merebahkan tubuh di lantai tanah.

Menurut Bimo Walgito dalam Dayakisni (2001), terdapat dua faktor yang membentuk dan mengubah sikap seseorang. Kedua faktor tersebut adalah (1) faktor internal –kemampuan untuk menyeleksi permasalahan--, dan (2) faktor eksternal –keadaan di luar individu untuk membentuk atau mengubah sikap--.

Sikap yang ditunjukkan Udin dalam cerpen Daging kebanyakan dipengaruhi faktor eksternal. Kekejaman dunia telah membuat Udin semakin cepat dewasa. Anak seusianya yang seharusnya masih duduk dibangku sekolah "dipaksa" untuk bekerja demi menghadapi kehidupan. Hal inilah yang secara perlahan tetapi pasti mengubah sikap Udin.

Tokoh kedua yang akan dibahas perwatakannya adalah emak. Emak adalah pribadi yang tertup. Ia enggan membicarakan masalah keluarga pada anak-anaknya. Udin dan Karti dianggap belum cukup dewasa untuk mengerti permasalaha kehidupan.

"Tidurlah. Jangan terus bicara kalau kau ingin membawa Karti ke dokter dan membelikannya soto daging besok."

Namun demikian tokoh emak adalah seseorang yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada keinginan pribadi. Ia sebenarnya tidak ingin anak-anaknya menderita, oleh karena itu segala kepahitan hidup ia hadapi sendiri. Ketika Udin mendapatkan daging dan selesai dimask, maka ia mendahulukan anak-anaknya untuk makan. Sedangkan dirinya sendiri yang sudah tiga hari belum makan malah tidak dihiraukan.

Perih dilambungnya sendiri tak diperdulikan. Perutnya dijerat tali setagen agar laparnya tak menjadi-jadi. Sudah tiga hari ia tak pergi memulung.

"Udin, makanlah. Kau pasti sudah sangat lapar, "ujar Mak sambil menenteng panci penyok berisi soto daging ke dalam rumah. "Mak akan menyuapi Karti. Siapa tahu dia langsung sembuh."

Mednick, Higgins, dan Kircshenbaum dalam Dayakisni (2001: 53) menyebutkan bahwa pembentukan sikap seseorang dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu : (1) pengaruh sosial, (2) karakter kepribadian individu, dan (3) informasi yang selama ini diterima oleh individu. Yang paling menonjol dari sifat emak bila disesuaikan dengan teori di atas adalah berkenaan dengan kepribadian individu. Emak adalah orang yang kurang bisa bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Hal ini membuatnya sedikit tertutup dan emiliki pribadi yang individual. Salah satu tindakan emak yang juga dikategorikan prilaku agresi adalah membiarkan dirinya kelaparan selama tiga hari.

Tokoh ketiga dalam cerpen di atas yang akan dibahas adalah nyonya Maliana. Watak tokoh ini labil, pemarah, dan sekaligus pelaku agresi. Ia sering menggunakan kata-kata sarkasme untuk melampiaskan kemarahannya. Selain itu tindakan mendorong kepala pembantunya dengan kasar termasuk prilaku agresi eksternal.

"Hah!? Kau lupa menaruh tas kresek itu? Dasar tolol!"
"Kalau sampai tas kresek itu ditemukan orang dan terjadi apa-apa, kau harus bertanggungjawab!"
"Makanya, pakai otakmu!" Nyonya Maliana mendorong kepala pembantu yang tersedu itu kasar.
"Pembantu gila itu bikin gara-gara. Tas kresek hitam milik Papa waktu itu hilang. Coba, bagaimana kalau tas kresek itu ditemukan orang dan dimantra-mantra? Sekarang kan banyak orang yang memperebutkan jabatan Papa yang basah itu?"

E.1.3 Agresi
Tokoh yang melakukan tindak agresi dalam cerpen ini adalah preman pasar, emak, dan nyonya Maliana. Masing-masing memiliki ketidaksamaan dalam wujud dan cara.
Tokoh pertama adalah preman pasar. Ia melakukan agresi kepada Udin dengan cara menyodok dengan lengannya. Ketika Udin melamun datanglah seorang perempuan yang meminta dibawakan barang bawaannya, namun Udin masih asik dengan lamunannya. Melihat yang demikian, preman pasar menyodok Udin disertai dengan kata-kata kasar.

"Heh! Tuli kau!? Atau tak mau uang?"
Udin hampir terjatuh di sodok lengan preman pasar yang kekar itu.

Jika dilihat dari unsur-unsurnya, tindakan preman pasar sudah memenuhi syarat-syarat agresi. Pertama, dilihat dari niat, niat preman adalah memperingatkan dengan menyakiti Udin. Kedua, tindakan tersebut menyakiti objek. Ketiga, udin tidak menginginkan perlakuan preman tersebut.
Perilaku agresi yang dilakukan oleh preman dilatarbelakangi oleh perilaku yang tidak menyenangkan. Udin yang diminta membawakan barang bawaan malah melamun. Ia kemudian menyodok Udin agar mau membawakan barang bawaan tersebut.

Tindak agresi kedua dilakukan oleh emak. Agresi ini lebih bersifat internal yaitu dengan menyakiti dirinya sendiri. Emak sudah tiga hari tidak makan. Padahal setiap hari Udin membawa sebungkus nasi untuk mereka bertiga. Watak emak yang lebih mementingkan anak dengan menyiksa dirinya sendiri termsuk tindak agresi.

Perih dilambungnya sendiri tak diperdulikan. Perutnya dijerat tali setagen agar laparnya tak menjadi-jadi.

Perilaku agresi terakhir dilakukan oleh nyonya Maliana. Ia melakukan agresi eksternal dengan memaki dan mendorong kepala pembantunya. Bila ditinjau dari penyebabnya, prilaku Maliana ini merupakan reaksi dari perbuatan pembantunya yang menghilangkan daging tumor.
Nyonya Maliana blingsatan. Marah besar. Memaki-maki pembantunya. Kecantikan wajahnya yang selalu terurus salon seketika lenyap. Ia kehilangan!

"Hah!? Kau lupa menaruh tas kresek itu? Dasar tolol!"
Air mata pembantu muda itu meleleh. Ketika mampir ke pasar beberapa hari lalu, ia benar-benar lupa membawa tas kresek hitam itu turun dari angkutan. Apakah lupa itu sebuah dosa? Sia-sia ia mengatakan hal yang sejujurnya pada Nyonya Maliana. Sekarang ia memilih diam. Toh, apapun yang ia katakan, wanita itu akan terus memaki-makinya.
"Kalau sampai tas kresek itu ditemukan orang dan terjadi apa-apa, kau harus bertanggungjawab!"
"Tapi Nyonya, saya,"
"Makanya, pakai otakmu!" Nyonya Maliana mendorong kepala pembantu yang tersedu itu kasar.

Delut dalam Dayakisni (2001: 103) menyatakan bahwa bentuk prilaku agresi digambarkan dalam bentuk item-item dari factor analysis of behavioral checklist, yang terdiri dari 11 item. Kesebelas item tersebut adalah (1) menyerang secara fisik, (2) menyerang dengan kata-kata, (3) mencela orang lain, (4) menyerbu daerah orang lain, (5) mengancam melukai orang lain, (6) main perintah, (7) melanggar milik orang lain, (8) tidak mentaati perintah, (9) bersorak-sorak, berteriak, atau berbicara keras pada saat yang tidak tepat, dan (11) menyerang tingkah laku yang dibenci.

E.2 Wujud Pencitraan Sosial yang Diungkapkan oleh Adhyra dalam Cerpen Sang Buronan Ditinjau dari Prespektif Psikologis
E.2.1 Interaksi Sosial
Karjo menerima SMS dari orang asing yang mengabarkan ibunya yang berada di desa meninggal dunia. Keberadaannya sebagai target operasi Polisi membuatnya waspada. Ia tidak mau terjebak dalam perangkap Polisi yang telah lama mencarinya. Kemudian Karjo mengkonfirmasi kebenaran SMS tersebut pada sahabatnya di kampung (Mukhlis). Setelah mengetahui validitas SMS tersebut, Karjo berani mengambil keputusan untuk pulang menghadiri pemakaman ibunya.
Sejenak Karjo tercenung, mencoba menelusuri, siapa gerangan pengirim SMS itu? Setelah menemukan titik terang, ia tersenyum kecil. Lalu, ia mengontak Muklis; teman sepermainannya sejak kecil dulu - yang telah ia bantu secara materi - dan sekarang hidup cukup makmur di desa sebagai peternak kambing, menanyakan kebenaran berita itu. Setelah Muklis meyakinkan kebenaran berita itu, Karjo menghela napas lega.

Bentuk interaksi sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah antara pengirim SMS dengan Karjo dan antara Karjo dengan Mukhlis. Motif yang melatar belakangi pengirim SMS adalah untuk mengabarkan kepada Karjo tentang kematian ibunya. Sedangkan tendensi Karjo mengkonfirmasi isi SMS yang diterima adalah agar dia tidak terjebak dalam perangkap Polisi.

Ketika Karjo menghubungi Mukhlis terdapat peristiwa sugesti. Mukhlis dipilih karena ia memiliki hutang budi pada karjo. Mukhlis telah diberikan modal untuk beternak kambing. Karjo hanya meminta agar Mukhlis menjaga ibunya. Sugesti yang dilakukan karjo dapat dikategorikan dalam sugesti otoritas. Kekuasaan Karjo atas Mukhlis menyebabkan dirinya bisa menyugesti Mukhlis untuk memberikan keterangan yang sebenarnya.

Bentuk interaksi sosial yang kedua adalah ketika Ustadz Kholil ingin mengetahui isi surat Karjo. Karjo yang ditembak mati oleh Polisi ternyata memiliki keinginan untuk bertaubat setelah ibunya meninggal. Namun niatannya ini gagal karena ajal telah datang menjemput. Ustadz Kholil yang mengetahui isi surat Karjo melakukan interaksi dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

"Apa isi surat itu, Pak?" tanya Ustadz Kolil yang tadi memimpin pemakaman ibunya Karjo.
Dengan suara cukup keras, polisi itu segera membacanya: "Selesai pemakaman Ibuku nanti, aku akan bertobat. Aku harus mengakhiri petualanganku sebagai perampok kelas kakap. Di sisa usiaku ini, aku ingin mengambil jalan yang lurus, jalan yang benar, dengan nyantri di Pondek Pesantrennya Ustadz Kolil."

Semua yang hadir di rumah Karjo itu, seketika terkesima. Mereka seakan kehabisan kata, tak tahu harus berkata apa. Tapi segera Ustadz Kolil memekik dengan suara lantang: "Allahu Akbar!"
Ustadz Kholil menyugesti penduduk kampung untuk menghargai perbuatan dan niat Karjo untuk bertaubat. Terjadi peristiwa sugesti kompleks yaitu (1) sugesti karena hambatan berfikir, (2) sugesti karena pikiran terpecah, dan (3) sugesti karena mayoritas.

Wujud sugesti yang pertama adalah perbuatan Karjo yang sangat buruk selama hidupnya bisa dimaafkan hanya dengan sebuah surat pernyataan ingin taubat. Masyarakat bisa menerima ini karena secara materi mereka tidak dirugikan oleh perbuatan Karjo dan mengenal Karjo sebagai pribadi yang sukses. Selain itu mereka bisa membaca niat tulus Karjo untuk bertaubat.
Sugesti karena pikiran terpecah dapat dibuktikan dengan pikian warga saat itu. Sedikitnya ada lima hal yang sedang mereka pikirkan, (1) rasa berkabung terhadap kematian ibunya Karjo, (2) rasa bangga terhadap Karjo yang telah menjadi orang sukses, (3) ketidakpercayaan terhadap perbuatan Karjo yang ternyata pelaku kejahatan, (4) rasa terkejut oleh kematian Karjo, dan (5) rasa haru terhadap surat yang ditulis oleh Karjo. Ketika rasa ini masih bercampur-baur, dan mendapat sugesti dari orang terkemuka (Ustadz Kholil) untuk bertakbir yang bermaksud menghargai niat baik Karjo.

Sugesti mayoritas dilakukan oleh penduduk kampung terhadap Polisi yang menangkap Karjo. Penduduk kampung telah seide menganggap perbuatan karjo bisa dimaafkan, sedangkan Polisi merasa dipojokkan oleh sugesti yang disampaikan oleh penduduk kampung. Sugesti ini lebih ke arah kejiwaan bukan dalam betuk fisik.

E.2.2 Sikap (Attitude)
Sikap yang akan dibahas pada sub bab berikut adalah tokoh-tokoh yang memiliki sikap menonjol. Jadi tidak semua tokoh yang akan dianalisis sikapnya. Tokoh-tokoh yang menjadi objek adalah Suryati dan Karjo.

Tokoh pertama yang akan dianalisis sikapnya adalah Suryati. Suryati memiliki sikap sombong dan merendahkan orang lain. Kata-katanya bernada sinis dan tidak mempercayai kesungguhan Karjo. Sebenarnya ada yang dicari oleh Suryati yang tidak terdapat pada diri Karjo, yaitu materi.

"Menikah?" tawa Suryati bernada menghina. "Mau jadi apa rumah tanggaku nanti kalau menikah dengan kamu yang penjudi, pemabuk dan pencuri?"
"Lantas kau akan kerja apa? Dan, aku serta anak-anakku kelak akan kau beri makan apa?" cibir Suryati.
"Maaf, semua itu baru angan-angan," potong Suryati. "Yang pasti, tak lama lagi aku
akan dilamar dan menikah dengan Pak Broto."
"Eit, jangan salah duga," ucap Suryati pula. "Aku sudah minta syarat pada Pak Broto, agar dia menceraikan semua istrinya dan dia setuju."

Wujud sikap Suryati di atas didasari oleh fungsi ekspresi dalam bersikap. Ia sadar bahwa dirinya adalah kembang desa setempat. Ia memiliki standart tertentu berkenaan dengan calon suaminya. Karjo dianggapnya tidak memenuhi standart yang diajukan. Perilaku Suryati ini termasuk memamerkan citra diri sebagai wujud dari eksistensinya sebagai kembang desa.

Karjo dalam cerpen Sang Buronan ini memiliki perilaku yang unik. Dikatakan demikian karena sikap Karjo selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun ada satu sikap yang khas pada diri Karjo yaitu rasa sayang pada ibunya. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan sebengal apapun Karjo tetapi masih sayang pada perintah ibunya.

"Untuk membunuh Pak Broto, Bu!" "Ha?" mata ibu membelalak. "Kenapa hal itu kau lakukan, Nak?"
"Karena aku sangat benci kepada dia!" suara Karjo penuh dendam.
"Kenapa kamu membencinya? Apa salah Pak Broto?"
"Karena dia telah mengawini Suryati, gadis yang sangat aku cintai!"
Sang ibu mengelus dada. "Oalah Karjo, Karjo, hanya karena masalah sepele, masalah wanita, kau akan melenyapkan nyawa seseorang. Ingat Nak, eling, kita ini orang nggak punya, orang miskin. Kalau kau nekad membunuh Pak Broto, bukan hanya kau yang akan dimusuhi orang satu desa, tapi aku juga, Ibumu, yang melahirkan dan membesarkanmu. Apa kau tega melihat Ibu hidup lebih sengsara lagi?"
Karjo terdiam. Kata-kata ibunya yang terakhir telah menyentuh nuraninya. Melihat hal itu, sang ibu cepat berkata:
"Kau ini laki-laki, Jo. Jangan berpikiran cekak. Bila kau mau pergi merantau jauh dari desa kita ini, akan kau jumpai wanita-wanita yang jauh lebih cantik dari Suryati."
Karjo mengangguk-angguk. "Benar juga ya, Bu?"

Pembentukan sikap Karjo yang bengal bukan terjadi secara instan. Proses terjadinya memerlukan waktu yang relatif lama. Mengacu pada teori Bimo Walgito dalam Dayakisni (2001: 52-53) bahwa sesuatu yang menimpa Karjo berawal dari faktor internal dan berlanjut pada faktor eksternal. Faktor internal yaitu ketika pribadi Karjo menyaring informasi dari dunia luar terdapat miss perseption. Informasi yang masuk berupa data-data yang salah sehingga membentuk watak negatif. Berkenaan dengan faktor eksternal, keadaan perekonomian yang miskin ditambah perilaku apatis oleh masyarakat di sekelilingnya membuat Karjo menempuh jalan hidup yang merugikan dirinya sendiri.

E.2.3 Agresi
Hampir semua tokoh dalam cerpen ini melakukan tindak agresi. Akan tetapi penulis membatasi pembahasan pada beberapa tokoh antara lain Karjo, Suryati dan Polisi. Masing-masing memiliki ketidaksamaan dalam wujud dan cara. Karjo dalam melakukan agresi lebih sering dalam bentuk fisik. Mengacu pendapat Delut dalam Dayakisni (2001: 103) wujud prilaku agresi yang dilakukan oleh Karjo sedikitnya adalah menyerang secara fisik, melanggar milik orang lain, dan tidak mentaati perintah.

Karjo menyerang secara fisik dan melanggar milik orang lain dengan melakukan pencopetan serta perampokan bank. Tindakannya merupakan agresi yang diakibatkan keadaan ekonomi yang tidak mapan. Krahe dalam Hanurawan (2001: 54) menyebutkan tiga motif seseoang ketika melakukan agresi yaitu (1) sebagai reaksi terhadap peristiwa yang tidakmenyenangkan, (2) sebagai perilaku sosial yang dipelajari, dan (3) dimediasi oleh penilaian kognitif.
Karjo melakukan tindakan pencopetan dan perampokan sebagai akibat dari kehidupan sosialnya yang carut marut. Ketika ia di Jakarta tidak bisa mencari pekerjaan secara halal, ia memutuskan untuk melakukan pencopetan. Lama-kelamaan ia mahir dan ingin beralih profesi menjadi perampok. Peralihan ini dipelajari dari kehidupan sosialnya yang turut memberikan pengaruh terhadap cara berfikir menghadapi kehidupan.

Adapun bentuk agresi Karjo yang tidak mematuhi perintah dapat dilihat dari kutipan berikut.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba datang beberapa orang polisi mengepung rumah Karjo. Karjo merasa kebebasannya terancam. Ia tak mau dijebloskan ke dalam sel tahanan. Maka, secara spontan Karjo mengeluarkan pistol miliknya dan menembakkannya beberapa kali ke atas, guna mengacaukan suasana, agar mudah baginya untuk meloloskan diri.

Tapi para polisi itu lebih sigap. Karjo ditembak tepat di dadanya. Karjo pun jatuh tersungkur dengan bersimbah darah.

Bentuk agresi yang dilakukan oleh Suryati adalah melalui media kata-kata serta mencela orang lain. Hal ini dilakukan karena rasa ketidaksukaannya pada Karjo yang ingin melamarnya.

"Menikah?" tawa Suryati bernada menghina. "Mau jadi apa rumah tanggaku nanti kalau menikah dengan kamu yang penjudi, pemabuk dan pencuri?"
Sesaat Karjo terdiam. Ditatapnya wajah ayu Suryati dengan penuh kekaguman.
"Ya, aku memang bejat, Ti," katanya kemudian sungguh-sungguh. "Tapi percayalah, semua itu akan aku tinggalkan kalau aku telah menikah denganmu."
Kembali Suryati tertawa sumbang.
"Lantas kau akan kerja apa? Dan, aku serta anak-anakku kelak akan kau beri makan apa?" cibir Suryati.
"Kerja apa saja, yang penting halal," sahut Karjo cepat. "Yang pasti, aku tak akan membuatmu sengsara."
"Maaf, semua itu baru angan-angan," potong Suryati. "Yang pasti, tak lama lagi aku akan dilamar dan menikah dengan Pak Broto."
"Kau akan menjadi istri yang ke berapa?" sela Karjo.
"Eit, jangan salah duga," ucap Suryati pula. "Aku sudah minta syarat pada Pak Broto, agar dia menceraikan semua istrinya dan dia setuju."

Semua perkataannya bernada sinis dan ditujukan kepada Karjo. Motif yang dilakukan Suryati adalah reaksi terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan – dilamar Karjo--. Keteguhan hati Karjo dalam melamar membuat Suryati semakin frustasi. Kata-kata yang dikeluarkan semakin tidak sedap didengar oleh Karjo.

Secara teoritis frustasi yang dihadapi Suryati timbul karena pengaruh variabel perantara (Hanurawan, 2001 : 54). Variaberl perantara yang dimaksud adalah (1) ketakutan menjadi orang miskin, (2) dicap sebagai istri penjahat, dan (3) pandangan seseorang bahwa dirinya sebagai kembang desa akhirnya mendapatkan seorang penjahat sebagai suaminya.

E.3. Komparasi Tinjauan Psikologis Sosial terhadap Pencitraan yang Dilakukan oleh Sri Lestari dan Adhyra dalam Cerpen Masing-masing
Kondisi psikologis antar pengarang perempuan dan pengarang laki-laki tidak sama. Beberapa pakar psikologi menyebutkan bahwa segala tindakan perempuan didasari oleh insting dan perasaan. Adapun perilaku laki-laki pada umumnya berdasarkan rasio. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih didominasi oleh otak kiri dalam bekerja. Sedangkan kaum laki-laki didominasi oleh otak kanan.

Pendapat di atas adalah pendapat klasik dan sudah mulai banyak ditinggalkan. Dalam studi gender oleh banyak ahli disebutkan dewasa ini peran laki-laki dan perempuan sudah mengalami persamaan. Pekerjaan yang sedianya dilakukan oleh kaum perempuan sudah biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, misal : koki di restoran dan hotel, pekerja salon dan lain sebagainya. Begitu pula sebaliknya, banyak pekerjaan kaum laki-laki yang dikerjaka oleh perempuan.

E.3.1 Perasaan dengan Rasio
Dalam kedua cerita pendek di atas, kesamaan dan perbedaan berkenaan teori yang telah disebutkan dapat dianalisis oleh penulis. Terdapat kesinkronan antara teori dan begitu pula negasi. Sri Lestari dalam menuliskan karyanya terkadang melebih-lebihkan dalam hal konflik tokoh. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini!

"Soto daging, Mak. Soto daging," (Karti)
"Karti harus dibawa ke dokter, Mak." (Udin)
"Kau belum tidur? Tidurlah, besok kau harus kerja." (Emak)

Dalam kutipan di atas dapat dilihat secara jelas bahwa aspek psikologis yang terdapat dalam cerpen hanya dapat dibaca secara implisit. Perasaan-perasaan yang dibangun pengarang untuk membangkitkan ceritanya dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan perasaan-perasaan dan sudut pandang keperempuanannya. Sri Lestari berhasil mentransfer perasaannya ke pembaca dengan media bahasa.

"Mak, aku membawakan daging untuk Karti. Mungkin sekilo lebih! Tanganku sampai pegal membawanya sambil lari-lari. Tadi sepulang dari pasar, aku menemukan daging ini di angkutan. Wah, kita bisa makan daging ini untuk beberapa hari, Mak! Bumbunya juga sudah kubelikan di warung! Cepatlah Mak masak. Kasihan Karti."

Tak ada kata yang keluar dari bibir perempuan itu. Ia terdiam. Gagu. Antara gembira, sedih dan haru. Setelah memerintah Udin menjaga Karti, perempuan itu bergegas ke belakang rumah. Tempat ia biasa memasak.

Dari kutipan di atas, Sri Lestari masih membolak-balikkan perasaan pembaca dengan konflik internal yang ada dala diri tokoh. Kemiskinan emak dan kerja keras Udin untuk mendapatkan daging adalah media yang dipergunakannya. Kondisi ini tidak terlepas dari rasa keindahan dan perasaan keperempuanannya.

Senjata yang digunakan oleh Lestari dalam menuliskan ceritanya adalah keindahan yang terdapat dalam pemilihan diksi dan kesan individu setelah membaca cerita. Kesan-kesan itu lebih bersifat perasaan simpati, antipati, emosi dan empati pembaca terhadap masing-masing tokoh.
Berbeda dengan Lestari, gaya penceritaan Adhyra lebih memaksa pembaca untuk merasionalkan peristiwa yang terdapat dalam cerpennya. Kata-kata dalam cerpennya bersifat lugas dan koheren. Adhyra mengajak pembaca untuk menarik cerpen itu ke alam sadar seseorang dan berupaya menghidupkan cerpen dengan mengkomparasikan kejadian yang ada di masyarakat.
Sejenak Karjo tercenung, mencoba menelusuri, siapa gerangan pengirim SMS itu? Setelah menemukan titik terang, ia tersenyum kecil. Lalu, ia mengontak Muklis; teman sepermainannya sejak kecil dulu - yang telah ia bantu secara materi - dan sekarang hidup cukup makmur di desa sebagai peternak kambing, menanyakan kebenaran berita itu. Setelah Muklis meyakinkan kebenaran berita itu, Karjo menghela napas lega.

Perhatikan pola pikir yang dibuat oleh Adhyra. Sebagai seorang laki-laki ia lebih menggunakan rasio dari perasaan. Ketika mendapat berita tentang kematian ibunya, Karjo tidak langsung bergegas pulang kampung. Ia menghubungi teman sebayanya dan mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut. Ia sadar posisinya sebagai buronan akan sedikit menjadi penghalang. Ia baru yakin bahwa berita yang diterimanya benar, ketika mendapat kepastian dari temannya berkenaan kesahihan SMS yang diterimanya.

Di Jakarta, tanpa keahlian khusus, mencari kerja ternyata tak semudah yang diduga. Maka mulailah Karjo menggelandang sana-sini, menjelajah seantero Jakarta. Sampai akhirnya ia mendapatkan titik temu: Untuk dapat bertahan hidup di Kota Metropolitan yang ganas dan kejam ini, aku harus menggunakan keahlianku di desa, mencuri; tapi harus dengan tipu daya, alias mencopet!

Mula-mula secara kecil-kecilan. Mencopet di pasar-pasar tradisional, di terminal-terminal dan di bis kota. Ketika sudah punya banyak teman yang seprofesi, Karjo berniat menjadi penjahat kelas kakap! Dan untuk melaksanakan rencana besar ini, ia pun mengatur strategi.
....

Ia tak mau dijebloskan ke dalam sel tahanan. Maka, secara spontan Karjo mengeluarkan pistol miliknya dan menembakkannya beberapa kali ke atas, guna mengacaukan suasana, agar mudah baginya untuk meloloskan diri.

Dalam kutipan di atas jelas sudah permasalahan antara perasaan dengan rasio. Adhyra membuktikan bahwa karyanya lebih menunjukkan eksistensinya sebagai seorang laki-laki dengan menggunakan pemiliran yang logis yang dituangkan dalam tokoh cerita. Akan tetapi Adhyra juga tidak berkompromi dengan unsur batin dalam ceritanya. Banyak kutipan yang menegaskan bahwa pengarang laki-laki juga bisa bermain perasaan sebagaimana pengarang perempuan. Namun yang perlu ditegaskan bahwa dominasi yang dilakuka Adhyra dalam cerpennya adalah dalam hal rasio.

E.3.2 Keindahan Bahasa dan Pengaruh Psikis yang Ditimbulkan
Sudah dijelaskan di atas bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan dan insting, sedangkan laki-laki lebih menekankan pada rasio dan pola pikir. Selain melalui peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dalam cerpen masing-masing, ciri ini dapat dibaca melalui penggunaan dan pemilihan diksi.

Pemilihan diksi juga merupakan refleksi dari perasaan pengarang. Ketika seseorang sedang dalam keadaan terharu, ia akan menggunakan kata-kata yang bisa mewakili perasannya. Ketika seseorang merasa marah maka perkataan yang dikeluarkan adalah cerminan dari apa yang ada dalam pikirannya.

Sri Lestari dalam cerpennya Daging memiliki kecenderungan menggunakan pilihan kata yang indah dan "menusuk". Ini memberikan kekuatan dalam cerita dan lakon yang dibangun. Perasaannya sebagai seorang perempuan direfleksikan dengan penggunaan kata dalam cerita.
Langit malam buram. Menangis. Kilat menyambar. Mengantarkan gelegar petir membelah perkampungan kumuh di pinggir sungai. Rumah-rumah berdinding kardus dan papan bekas berjejalan. Sempit, sesak, lembab. Daun-daun pintu bergoyang. Berderak. Seolah ada tangan hantu mempermainkan pintu-pintu itu dari luar. Angin kencang menghempas, hujan deras. Sungai meluap. Menghamburkan air kotor penuh limbah pabrik, kotoran manusia dan sampah. Barangkali kiamat akan mendatangi perkampungan kumuh itu malam ini.

Dari kutipan di atas dapat diapresiasi bahwa pribadi penulis adalah seseorang yang peka terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sosial. Lagi-lagi unsur perasaan lah yang membuat seseorang mampu membuat rangkaian kata-kata yang indah dan "menusuk".
Berbeda dengan Lestari, Adhyra terbukti bisa mengajak pembaca memahami isi cerita yang dibuat walaupun menggunakan bahasa yang sedikit lugas. Bila dibandingkan dengan Lestari, kata-kata yang digunakan oleh Adhyra lebih mencerminkan dirinya sebagai seorang laki-laki. Ia ingin menghadirkan dirinya dalam tokoh dan peristiwa di cerita yang ia buat. Dengan kata lain cerita yang dibuatnya adalah refleksi dari kondisi jiwanya dalam melihat sesuatu.
Karjo tumbuh dalam keluarga broken home. Bapaknya jatuh hati pada pelacur, lalu pergi bersama pelacur itu - entah ke mana - meninggalkan ibunya begitu saja. Sang ibu adalah prototipe orang desa yang miskin dan tak punya ketrampilan apa pun. Maka untuk biaya hidup sehari-hari, ibunya bekerja sebagai buruh tani, bersama beberapa orang tetangganya menggarap sawah milik Pak Broto, sang tuan tanah. Dan, karena gaji buruh tani yang kecil - di samping ibunya, wanita tak sanggup bersaing dengan para buruh tani laki-laki dalam kerja borongan itu - terpaksa sekolah Karjo putus di tengah jalan. Sejak saat itulah Karjo mulai jadi anak brandalan. Setiap hari kerjanya hanya keluyuran tak tentu tujuan, sampai akhirnya ia mulai mengenal judi, minuman keras dan perempuan. Bila tak punya uang untuk memenuhi kebutuhan buruknya itu, Karjo mulai berani mencuri kecil-kecilan. Dan, sejak saat itu pula Karjo mulai dibenci dan dikucilkan oleh penduduk desanya.

F. Penutup
Demikian telah dipaparkan di atas Studi Komparasi Cerita Pendek Angkatan 2000 berdasarkan Prespektif Sosiopsikologis. Penulis berharap dari tulisan ini pembaca dapat mengambil suatu pelajaran dan mampu mengembangkannya. Pembahasan di atas belum mengkaji semua aspek sosial dalam prespektif psikologis. Keterbatasan waktu penulis menjadi sebab kurang sempurnanya tulisan ini.

Bibliografi
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Offset.
Dayakisni, Tri. et.al. 2001. Psikologi Sosial (Buku 1). Malang: UMM Press.
Hanurawan, Fattah. 2001. Dasar-dasar Psikologi Sosial. Malang: Triutara Press(ca).

TEMA-TEMA YANG MENJEBAK

TEMA-TEMA YANG MENJEBAK
(Komparasi Antara Cerpen Cyber dan Cerpen Koran)
Oleh Arif Irfan Fauzi


Pendahuluan
Tema dalam konteks kesusastraan dapat diartikan sebagai pokok ide yang mendasari suatu karya. Dalam proses penciptaan karya sastra, pengarang menjadikan tema sebagai acuan dalam berkarya. Dengan adanya tema yang terstruktur, ide pengarang yang dituangkan dalam kertas akan tetap dalam rel kebenaran dan tidak akan menyimpang.

Lebih lanjut, pengarang yang mengikuti "trend" tema pada suatu periodisasi dapat dicap sebagai sastrawan di suatu angkatan. Hal ini tentunya akan menambah gengsi bagi pengarang, sebab selain karyanya yang seide dengan pengarang lain, ia juga dapat menorehkan namanya dalam buku sejarah sastra sebagai salah satu pengarang. Pengarang juga akan memiliki "nilai jual" yang lebih dibanding dengan pengarang yang "memberontak" baik dalam hal ide atau konvensi lainnya.
Walaupun belum mendapat pengakuan secara menyeluruh dari para sastrawan, angkatan 2000 terbukti memiliki daya dobrak yang dapat menyingkirkan angkatan sebelumnya (1998). Terlepas dari polemik yang ada, angkatan ini memiliki ciri yang jauh berbeda dengan angkatan 1998.

Dalam hal tema, angkatan 2000 mengedepankan kebangkitan perempuan. Secara global, karya dalam angkatan ini seakan-akan ingin membalik posisi kaum perempuan atas laki-laki.
Media penyampai ide yang digunakan oleh para sastrawan tidak lagi terbatas pada buku, melainkan sudah merambah pada sastra cyber dan sastra koran. Sastra cyber dapat diwakili oleh "situs resmi sastra" yakni www.cybersastra.net. Adapun sastra koran sering dimuat dalam kolom budaya. Koran yang secara rutin memuat kolom ini antara lain KOMPAS dan JAWA POS group.

Kedua media ini memiliki visi dan misi yang berbeda dalam pemuatannya. Hal ini menyebabkan seringnya ketidaksamaan ide yang ada di dalam karya sastra yang dimuat. Pemertahanan konvensi angkatan 2000 pada kedua media ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut sebagaimana berikut.

Sastrawan Nyentrik, Tidak Dilarang

Angkatan 2000 dapat dikatakan sebagai angkatan yang menempatkan perempuan dalam posisi puncak. Berbagai upaya dilakukan oleh para sastrawan guna menyejajarkan posisi perempuan dengan posisi laki-laki, salah satunya dengan karya sastra. Pengakuan terhadap cerita-cerita yang dibuat oleh kaum hawa dan menempatkannya setara dengan karya laki-laki dengan mengindahkan hegemoni gender adalah salah satu bukti riil (Fauzi: 2007).

Dalam dunia sastra, tidak ada aturan yang mengekang kreativitas sastrawan. Konvensi-konvensi yang ada dalam dunia sastra merupakan peraturan yang tidak tertulis dan bersifat mana suka, artinya, bisa diikuti atau bisa pula ditolak. Pada masa kolonial dan orde baru ketidaktaatan pada konvensi akan berakibat fatal. Seorang sastrawan "pemberontak" akan menerima ganjaran atas perbuatan nekatnya. Kasus yang pernah ada antara lain berakibat pada (1) dilarang terbitnya suatu naskah sastra –Belenggu fersi angkatan Balai Pustaka,- (2) ditariknya karya sastra dari pasaran –kasus Pramudya,- dan (3) dipenjarakannya sastrawan –Pramudya dkk.- Konsep di atas mulai tidak berlaku sejak runtuhnya rezim orde baru (angkatan 1998 dan angkatan 2000). Sastrawan seolah-olah menjadi liar tak terkendali tanpa batas. Namun, masih banyak pula sastrawan yang tetap setia menjaga konvensi-konvensi tak tertulis tersebut. Hal ini berakibat seakan-akan munculnya dualisme sastrawan yakni sastrawan yang tetap memegang teguh konvensi dan sastrawan nyentrik yang lebih memilih kebebasan dalam berkarya.

Dikotomi anatara kedua jenis sastrawan ini terefleksikan dalam karya yang dihasilkan. Tidak ada sisi negatif yang ditimbulkan, bahkan banyak ditemui sisi positif dari perbedaan ini. Baik dalam sastra cyber dan sastra koran , kedua kelompok ini sama-sama berkembang dan semakin memperkaya dunia sastra.

Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis tema yang diangkat oleh kedua kelompok di atas dalam di media. Penulis mengambil sampel cerpen secara random baik di www.cybersastra.net yang mewakili sastra cyber dan di koran Jawa Pos sebagai wakil sastra koran. Judul cerpen tersebut adalah "Kutukan" karya Mer Magdal (selanjutnya disebut cerpen satu) dan "Kami Ingat Markiyem" karya Mariana Amiruddin (selanjutnya ddisebut cerpen dua).

Cerpen pertama dikategorikan sebagai produk sastrawan nyentrik. Hal ini dikarenakan pengarang tidak mempedulikan kaidah-kaidah atau konvensi dalam menulis. Karya sastra ini ditulis pada bulan Mei tahun 2002. Secara periodesasi karya ini masuk dalam angkatan 2000. Unsur tema tentang kebangkitan perempuan sama sekali tidak ditemukan. Walaupun dalam cerpen terdapat tokoh perempuan (Minah), namun tidak begitu memiliki peran penting (hanya sebagai penjual nasi di warteg). Sebaliknya, tokoh utama memiliki dominasi baik dalam segi menghidupkan cerita maupun kondisi sosial ekonominya.

Ketidakikutan terhadap konvensi yang sudah ada tidak menjadikan cerpen ini sebagai "sampah." Walaupun dikatakan nyentrik, unsur sastra yang ada di dalamnya justru terlihat dengan jelas. Kreativitas penulis dalam mengolah cerita baik secara ide maupun unsur teknis lainnya menjadikan cerpen ini memiliki nilai. Kalau dikomparasikan dengan cerpen seangkatan yang bertemakan kebangkitan perempuan (cerpen kedua), maka cerpen pertama juga memiliki bargaining potition. Keberanian Magdal sebagai pengarang mendobrak tradisi justru menjadikannya sastrawan cyber yang memiliki kekhasan tersendiri.

Tema sosiokultural yang dipergunakan oleh Magdal masih menarik diperbincangkan di tengah gencarnya tema feminis. Hal ini disebabkan sampai kapanpun seseorang tidak akan pernah bisa lepas dari sosiokultural masyarakat yang ada di sekitarnya. Magdal berhasil menorehkan sebuah frame tentang realita yang ada di masyarakat dalam sebuah karya tulis fiksi imajinatif.

Sifat nyentrik Magdal dalam mengambil tema cerita yang bertentangan dengan konvensi angkatan 2000 memberikan angin segar di saat pembaca mengalami kejemuhan. Apabila semua karya pada satu angkatan memiliki tema yang sama (tanpa ada sastrawan nyentrik) maka pembaca seolah-olah akan disuguhi sesuatu yang membodohi. Kalau sampai ini terjadi, kepekaan pengarang terhadap realita yang ada di sekelilingnya (yang bersifat non feminis) tidak terasah. Pengarang akan menjadi bebal dan kehilangan idealismenya sebagai sastrawan.

Pada cerpen kedua, karya ini dikategorikan sebagai produk sastrawan konvensional. Ketaatan pengarang terhadap konvensi yang ada dapat dijadiakan alasan karya ini masuk kategori tersebut. Cerpen ini dibuat pada bulan April 2007 dan dimuat di kolom Budaya harian Jawa Pos pada tanggal 20 Mei 2007 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Asumsi pertimbangan dimuatnya cerpen ini adalah (1) tema cerpen yang sesuai dengan periodesasi, (2) Hakitnas lebih sesuai diisi dengan cerpen bertemakan kebangkitan, (3) tidak akan menimbulkan gejolak di masyarakat.

Bila dibaca secara komprehensif, maka dari cerpen kedua dapat diambil tema "harga diri seorang mantan pelacur." Dominasi Markiyem dan Rara sebagai tokoh utama sangat mencerminkan bahwa karya ini benar-benar pro konvensi. Markiyem walaupun mantan pelacur di jaman kolonial Jepang akhirnya mampu mempertahankan harga dirinya. Ia memprotes pernyataan Pemimpin Jepang yang menyatakan tidak ada perbudakan seks di masa penjajahan. Markiyem bersama korban-korban lainnya melakukan demo walaupun usianya sudah sangat tua.

Cerpen ini sesuai dimuat di harian Jawa Pos pada saat momen Harkitnas karena mereview peristiwa yang terjadi di masa lampau. Nilai adiluhung dalam cerpen dibungkus dalam peristiwa di dalam cerita. Namun, karena terbatasnya media, banyak aspek yang seharusnya bisa lebih dieksplorasi terpotong. Walaupun demikian, tidak ditemukan sesuatu yang baru dalam cerpen ini. Secara vulgar dapat dikatakan bahwa cerpen ini hanya mengubah tokoh dan peristiwa tanpa ada sesuatu yang disuguhkan kepada pembaca. Lebih lanjut, cerpen ini dapat dikatakan hanya bermodal tema yang sama dengan angkatan 2000 untuk dapat dimuat.

Terkadang keterpakuan pengarang terhadap tema-tema konvensional justru menjebak dan mengekang kreativitas. Hal ini disebabkan karena pola pikir pengarang sudah dikotak-kotakkan, sehingga tidak bisa lagi keluar dari masalah-masalah yang sudah ada. Sebaliknya, permasalahan di luar tema konvensional semakin banyak dan menarik untuk dituangkan menjadi sebauh karya.

Melalui karyanya, pengarang kedua telah berhasil mendapat pengakuan bahwa dirinya adalah pengarang karya pada angkatan 2000. Tapi di sisi lain kualitas karyanya tidak bisa memberi nuansa baru di kancah dunia sastra. Di sinilah idealisme pengarang akan dipertanyakan? (ARIF).