Rabu, 09 April 2008

KOMPARASI CERPEN 2000

STUDI KOMPARASI CERITA PENDEK ANGKATAN 2000
(KAJIAN SOSIOPSIKOLOGIS)
Oleh : Arif Irfan Fauzi

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu unsur yang terkandung dalam sebuah karya sastra adalah unsur kehidupan sosial-budaya serta ragam sikap pengarang terhadapnya (Aminuddin, 2004:186). Setiap pengarang memiliki pandangan berbeda terhadap realita sosial yang terdapat di sekelilingnya. Pengarang pun memiliki kekhasan dalam menyajikan sebuah fenomena kepada pembaca. Kekhasan ini tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Hak mencipta bagi pengarang bersifat tak terbatasi, sehingga ia bisa menggambarkan apapun dalam bentuk yang bagaimanapun.

Pengarang-pengarang angkatan 2000 terkenal sebagai revolusioner dalam bidang sastra. Dikatakan demikian dikarenakan perbedaan ciri yang sangat menonjol dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Angkatan ini terkenal memiliki sastrawan yang (1) bergaya bahasa fulgar --baik pengarang laki-laki maupun perempuan,-- (2) tema lebih umum dan pembahasan dalam karya lebih tajam, serta (3) kebebasan berekspresi dalam mencipta karya. Salah satu pembeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya adalah setiap pengarang memilki kekhasan serta daya tarik tersendiri dalam setiap karya yang dihasilkan.

Ketajaman angkatan 2000 tidak hanya tampak pada novel, puisi, dan drama. Cerita pendek sebagai salah satu cabang dari novel juga memiliki ciri yang serupa. Selain cerita yang dipublikasikan dalam bentuk naskah atau kumpulan naskah, cerita pendek dalam dunia maya (cyber short story) juga memiliki penanda yang sama dengan genre sastra lain.

Terdapat banyak alat (ilmu) yang bisa digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap gejala-gejala yang terdapat dalam karya sastra. Salah satu diantaranya adalah sosiopsikologis. Ilmu interdisipliner ini merupakan gabungan dari ilmu sosiologi dan psikologis. Ilmu sosiologi digunakan sebagai alat mengkaji bidang-bidang sosial budaya yang terdapat dalam karya sastra. Adapun gejala psikis dalap dianalisis dengan ilmu psikologi. Aminuddin (2004:186) berpendapat bahwa puisi dan prosa fiksi bisa dikaji dengan menggunakan ilmu sosiopsikologi.

Ketika mengapresiasi karya sastra, pembaca sering menemukan perbedaan cara pengungkapan pribadi tokoh oleh pengarang. Seorang pengarang laki-laki akan berbeda cara menggambarkan tokoh dengan pengarang perempuan. Dalam makalah ini, penulis mengkomparasikan antara pencitraan tokoh yang oleh pengarang laki-laki dan perempuan.

Populasi dalam tulisan ini adalah semua pengarang cerpen dan karyanya dalam angkatan 2000. Adapun sampel yang menjadi objek analisis adalah Sri Lestari dengan cerpennya berjudul Daging dan Adhyra dengan cerpennya Sang Buron.

B. RUANG LINGKUP DAN PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan media yang digunakan, cerita pendek dapat disampaikan dengan dua media (1) konfensional –naskah, dan (2) nonkonfensional (cyber/ virtual short story). Cara konfensional dibagi menjadi dua (1) satu naskah berisi satu cerpen, dan (2) satu naskah berisi kumpulan cerpen. Sedangkan pada cara nonkonvensional, kelaziman yang sering ditemukan adalah kumpulan cerpen dalam satu situs.

Angkatan 2000 dimulai pada awal tahun 2000, sekarang (tahun 2006) para sastrawan masih dapat digolongkan dalam angkatan tersebut. Hal ini mengacu pada sebuah ungkapan H.B. Jassin yang berpendapat adalah usia maksimal sebuah angkatan adalah sepuluh tahun. Selain itu ciri-ciri yang melekat pada karya sastra masih memiliki kemiripan.

Tinjauan sosiopsikologis adalah sebuah ilmu interdisipliner yang terdiri dari ilmu sosiologis dan psikologis. Kajian psikologi sosial mengarah pada dua ranah: (1) tinjauan secara mikro, dan (2) tinjauan secara makro. Tinjauan mikro meliputi (1) persepsi, (2) apersepsi, (3) motif/ niat, (4) motivasi, dan (5) sikap. Adapun tinjauan secara makro terdiri atas (1) konflik, (2) cinta, (3) perasaan, dan (4) agresi. Masing-masing bidang ilmu memiliki penjabaran yang sangat luas, namun penulis membatasi pada aspek psikologis yang melatarbelakangi pengarang memberikan suatu citra pada tokoh.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana wujud pencitraan sosial yang diungkapkan oleh Sri Lestari dalam cerpen Daging ditinjau dari prespektif psikologis?
2. Bagaimana wujud pencitraan sosial yang diungkapkan oleh Adhyra dalam cerpen Sang Buron ditinjau dari prespektif psikologis?
3. Bagaimana komparasi terhadap pencitraan yang dilakukan oleh pengarang laki-laki dan pengarang perempuan berdasarkan tinjauan psikologis?

D. TINJAUAN PUSTAKA
Kajian sosiopsikologis memiliki alat (berupa teori) yang sangat banyak untuk menafsirkan motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Dalam tinjauan pustaka berikut akan penulis sampaikan beberapa teori yang mendukung analisa dalam bab pembahasan.

Sosialisasi merupakan proses belajar masyarakat suatu kelompok kebudayaan tentang nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat itu (Hanurawan, 2001: 36). Penekanan pada tindak sosialisasi menurut pendapat di atas adalah proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat. Melalui sosialisasi seorang individu dapat mengembangkan cara berfikir, berperasaan dan berperilaku.

Sinonim kata sosialisasi adalah interaksi sosial. Pengertian istilah interaksi sosial yang dikemukakan oleh Bonner adalah hubungan antara dua atau lebih individu, dimana tingkah laku individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki tingkah laku individu yang lain atau sebaliknya (Dayakisni, 2001: 66). Pengertian ini memiliki tinjauan berbeda dengan pengertian pertama. Penekanannya adalah perubahan dalam diri seseorang melalui interaksi dengan orang lain.

Terdapat beberapa bentuk dasar interaksi sosial yang merupakan pendapat dari beberpa tokoh. Apabila disimpulkan, interaksi sosial meliputi (1) imitasi, (2) sugesti, (3) identifikasi dan (4) simpati (Dayakisni, 2001: 66-68).

Dampak imitasi terhadap diri seseorang ada dua yaitu (1) dampak positif dan (2) dampak negatif. Dampak positif terjadi ketika sesuatu yang diimitasikannya adalah hal-hal yang baik. Sebaliknya dampak negatif muncul ketika sesuatu yang diimitasikannya adalah hal-hal buruk.

Gerungan membedakan definisi antar imitasi dan sugesti. Imitasi merupakan proses peniruan terhadap sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Sedangkan sugesti adalah suatu proses pemberian pandangan atau sikap dari diri seseorang terhadap orang lain di luar dirinya (Dayakisni, 2001: 67).

Teori lain berkenaan dengan psikologi sosial adalah berkenaan dengan sikap (attitude) seseorang. Secara definitif sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan bertindak untuk bereaksi terhadap rangsang (Dayakisni, 2001 : 51). Tindakan yang dihasilkan merupakan renspnsif dari stimulus yang dilakukan oleh orang lain.

Sedikitnya terdapat empat fungsi sikap. Fungsi-fungsi tersebut meliputi (1) fungsi penyesuaian diri, (2) fungsi pertahanan diri, (3) fungsi ekspresi nilai dan (4) fungsi pengetahuan (Hanurawan, 2001 : 44).

Terdapat perbedaan antar fungsi penyesuaian diri dengan fungsi pertahanan diri. Penyesuaian diri berarti orang cenderung mengembangkan sikap untuk mencapai tujuannya. Sedangkan fungsi pertahanan diri lebih mengacu pada sikap lebih melindungi seseorang dari keharusan untuk mengakui mengakui kenyataan pada dirinya.

Begitu pula dengan fungsi ekspresi nilai dengan fungsi pengetahuan yang memiliki definisi yang berbeda. Fungsi ekspresi nilai berarti bahwa sikap membantu ekspresi positif nilai-nilai dasar seseorang, memamerkan citra dan aktualisasi diri. Sedangkan fungsi pngetahuan lebih menitik beratkan pada sikap membantu seseorang dengan enerapkan standart evaluasi terhadap sesuatu hal.

Suatu serangan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, obyek lain, atau bahkan pada dirinya sendiri adalah pengertian dari agresi (Dayakisni, 2001 : 96). Agresi juga merupakan kajian dalam psikologi sosial yang akan menjadi alat memahami motif seseorang melakukan sesuatu. Wujud agresi bermacam-macam, tergantung pelaku dan keadaan jiwanya pada saat itu.
Teori terakhir yang penulis pergunakan dalam menganalisis motif pengarang terhadap tokoh adalah teori daya tarik interpersonal. Pengertian daya tarik interpersona adalah ketertarikan suatu individu pada individu lain. Ketertarikan ini diartikan secara luas, bukan hanya nafsu atau cinta saja. Adapun motif yang melatarbelakangi daya tarik interpersona adalah (1) kesamaan, (2) kedekatan, (3) keakraban, (4) daya tarik fisik, (5) kemampuan, (6) tekanan emosional, (7) munculnya perasaan atau mood positif dan (8) harga diri yang rendah.

Sedikitnya terdapat tiga syarat untuk mengkategorikan suatu tindakan sebagai perilaku agresi. Ketiga syarat tersebut adalah (1) niat pelaku –benar-benar ingin berbuat agresi, bukan karena ketidaksengajaan--, (2) terdapat keinginan bahwa dengan perilakunya dapat menimbulkan penderitaan atau kerusakan pada diri obyek atau ssaran, (3) keinginan obyek sasaran untuk tidak menghindari perilaku merugikan yang dilakukan oleh pelaku agresi (Hanurawan, 2001 : 53).

E. PEMBAHASAN
E.1 Wujud Pencitraan Sosial yang Diungkapkan oleh Sri Lestari dalam Cerpen Daging serta Tinjauan dari Prespektif Psikologis
E.1.1 Interaksi Sosial
Merujuk pada definisi yang dipaparkan oleh Dayakisni di atas, tujuan dari proses interaksi sosial adalah untuk mengubah perilaku orang lain. Dalam cerpen Daging karya Sri Lestari terdapat beberapa kutipan yang mendukung pendapat di atas.

Kutipan pertama, ketika kondisi Karti semakin memburuk dan Udin terus meminta emaknya untuk segera membawa adiknya ke dokter. Emak yang sangat mengetahui kondisi keluarga malah menyuruh Udin untuk tidur. Ia mempersuasi Udin dengan keinginan Udin sendiri (membelikan Karti soto daging). Padahal secara psikis ia tidak mau tertekan oleh ucapan-ucapan anaknya yang belum mengerti kondisi keluarga.

"Tidurlah. Jangan terus bicara kalau kau ingin membawa Karti ke dokter dan membelikannya soto daging besok."

Udin terdiam. Memandangi maknya sekejap lalu membaringkan tubuhnya di lantai tanah. Merapat ke dinding kardus yang basah. Kain sarung kumal melindungi tubuh kurusnya yang terus mengigil. Matanya berkedip-kedip. Perlahan ia mencoba memejamkan mata. Hatinya berjanji. Besok, ia harus mendapatkan uang untuk membawa Karti ke dokter dan membeli soto daging!

Perintah emak ke Udin agar cepat tidur dapat dikategorikan sebagai salah satu wujud interaksi sosial. Motif yang ingin dicapai adalah agar Udin tidak terus mendesaknya membawa Karti ke dokter. Interaksi ini berhasil, terbukti Udin mahu menuruti apa yang dikatakan emak untuk tidur.
Proses psikis yang terjadi adalah sugesti kompleks. Dikatakan demikian karena banyak unsur sugesti yang digunakan emak kepada Udin. Sugesti itu adalah (1) sugesti karena hambatan berfikir --emak memberikan alasan agar Udin mau berfikir dan ia bisa menerima alasan yang dikemukakan oleh emak,-- (2) sugesti karena pikiran terpecah --Udin sedang memikirkan banyak hal begitu pula dengan emak, akan tetapi emak lebih menguasai keadaan sehingga mampu mesugesti Udin agar mahu tidur,-- dan (3) sugesti karena otoritas –posisi emak dalam keluarga di atas Udin yang hanya sebagai anak. Kondisi-kondisi tersebut di atas mampu mempengaruhi seseorang agar menuruti keinginan pensugesti.

Kutipan kedua, proses interaksi sosial terjadi di pasar. Seorang perempuan menawar harga daging namun penjual tidak mau menurunkan dengan menggunakan alasan-alasan. Motif yang bisa dibaca adalah dengan menawar diharapkan bisa mendapatkan harga semurah mungkin. Sedangkan pembeli tidak mau menurunkan harga karena ingin mendapat untung yang berlimpah.

"Sekilo limapuluh ribu, Bu. Maklumlah BBM naik, semua harga juga naik." Hari sedang menuju senja. Gerimis masih berderai. Pasar hiruk pikuk. Semrawut. Angin lembab meruapkan bau busuk sampah yang bertumpuk. Udin menghentikan langkahnya di blok penjual daging. Berdiri mematung. Menatap seorang wanita gemuk berambut keriting yang sedang memilih daging sapi segar sambil menawar-nawar harga.

Rasionalisasi yang dilakkan oleh penjual berhasil. Pembeli tetap membeli daging yang ia jual dengan harga yang ditentukannya. Proses interaksi sosial berlangsung kompleks. Pembeli mempengaruhi penjual agar harganya turun sedangkan penjual tetap menginginkan harga yang ia tawarkan.

Dalam hal ini telah terjadi proses sugesti karena hambatan berfikir yang dimenangkan oleh penjual. Penjual mengambil alih pandangan-pandangan pembeli tentang mahalnya harga daging dengan memberikan alasan-alasan yang masuk akal. Pembeli yang dalam kondiri minim informasi bisa menerima penjelasan dari penjual dan akhirya tetap membeli daging.
Kutipan ketiga, ketika Udin melamun dan seorang perempuan meminta bantuan membawakan barang belanjaannya ke depan pasar. Udin yang mematung dihardik oleh seorang preman pasar. Ia kemudian segera membawakan barang bawaan perempuan tadi.

"Bawakan barang saya sampai depan pasar!" Udin masih mematung dengan tangan merabai saku celana ketika seorang lelaki menghardiknya. "Heh! Tuli kau!? Atau tak mau uang?" Udin hampir terjatuh di sodok lengan preman pasar yang kekar itu. Buru-buru ia menghampiri wanita gemuk berambut keriting yang tadi membeli daging.

Dalam kutipan ini, interaksi sosial terjadi antar tiga orang, perempuan yang membawa barang belanja, preman, dan Udin. Proses psikologi yang terjadi adalah sugesti disertai dengan agresi. Sugesti pertama dilakukan oleh sang perempuan dengan sugesti otoritas. Ia memiliki uang uantuk mengupah Udin. Sugesti kedua yang disertai dengan prilaku agresi dilakukan oleh preman pasar kepada Udin. Sama seperti perempuan di atas, ia melakukan sugesti otoritas yaitu mengandalkan kedudukannya sebagai "penguasa." Ia pun melakukan agresi dengan menyodok Udin.
Agresi yang dilakukan oleh perempuan dan preman pasar ke Udin membuahkan hasil. Udin membwakan barang belanjaan perempuan tadi ke depan pasar dan memperoleh upah. Hal ini didukung oleh kutipan di bawah ini.

"Ini upahmu!" Wanita gemuk berambut keriting itu mengangsurkan dua lembar uang kertas kumal seribuan pada Udin. Dua ribu rupiah? Udin mengamat-amati dua lembar uang kumal itu. Harga-harga naik begitu mahal, tapi upahnya membawakan barang-barang belanjaan tak pernah naik dari tahun ke tahun. Tetap saja dua ribu rupiah. Atau paling banyak lima ribu rupiah kalau pemilik barang yang dibawakannya penuh belas kasihan.

E.1.2 Sikap (Attitude)
Sikap yang akan dibahas pada sub bab berikut adalah tokoh-tokoh yang memiliki sikap menonjol. Jadi tidak semua tokoh yang akan dianalisis sikapnya. Tokoh-tokoh yang menjadi objek adalah Udin, emak, preman pasar, dan nyonya Maliana.

Tokoh Udin memiliki sikap tanggung jawab pada keluarga. Di saat adiknya sakit dan emaknya dalam kondisi lemah, ia menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai kuli angkut di pasar. Sebagai orang yang satu-satunya sehat dalam keluarga, didukung ia adalah anak lelaki satu-satunya, Udin memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya. Hal ini diperparah dengan bapak Udin yang belum pulang dari penjara.

"Karti harus dibawa ke dokter, Mak."
"Kalau Bapak tak masuk penjara, pasti bisa membawa Karti ke dokter. Juga membelikan soto daging ya, Mak? Dulu, Bapak selalu pulang membawa makanan setiap hari. Aku tak percaya Bapak mencuri seperti yang dituduhkan orang-orang pasar."
...

Tanpa banyak kata Udin mengangkat tiga tas belanjaan di depannya. Urat-urat di kedua tangannya yang kurus langsung bertonjolan keluar karena beban berat yang sangat. Namun Udin tak perduli.

Harga-harga naik begitu mahal, tapi upahnya membawakan barang-barang belanjaan tak pernah naik dari tahun ke tahun. Tetap saja dua ribu rupiah. Atau paling banyak lima ribu rupiah kalau pemilik barang yang dibawakannya penuh belas kasihan.
...

Selain beberapa sikap di atas, Udin memiliki kemauan untuk menepati janji. Udin telah berjanji pada adiknya, Karti, untuk memberikan soto daging dan membawa berobat ke dokter. Ketika Udin belum bisa menepati janji, ia merasa bersalah, namun ketika janjinya terlunasi ia merasa bahagia.

Limapuluh ribu? Meski tak tamat sekolah dasar, Udin mengerti jumlah itu tidak sedikit. Ia meraba saku celana pendeknya. Beberapa uang receh sisa membeli nasi bungkus kemarin masih di sana. "Ah, mana mungkin membeli daging dengan uang receh ini?" keluh hatinya. Sedangkan hari ini belum ada seorang pun membeli tas kresek hitamnya atau memintanya membawakan barang-barang belanjaan.

Karti sakit. Demamnya tak juga mereda meski sudah diberi obat toko. Bagaimana caranya membawa Karti ke dokter? Berapa harga periksa dan obat dokter sekarang ini? Berpikir tentang beras, minyak dan garam saja sudah kelimpungan. Beban bertumpuk. BBM naik lagi. Harga-harga menggila. Anak laki-lakinya yang beranjak sebelas tahun, Udin, tak selalu pulang membawa uang dari pekerjaannya menjual plastik kresek hitam dan membawakan barang-barang belanjaan ibu-ibu di pasar.
....

Maka, sore itu satu janji Udin telah lunas. Membelikan soto daging untuk adiknya. Tinggal satu janji lagi. Membawa Karti ke dokter. "Ah, semoga Karti cepat sembuh dan tak perlu ke dokter," bisiknya lirih sambil merebahkan tubuh di lantai tanah.

Menurut Bimo Walgito dalam Dayakisni (2001), terdapat dua faktor yang membentuk dan mengubah sikap seseorang. Kedua faktor tersebut adalah (1) faktor internal –kemampuan untuk menyeleksi permasalahan--, dan (2) faktor eksternal –keadaan di luar individu untuk membentuk atau mengubah sikap--.

Sikap yang ditunjukkan Udin dalam cerpen Daging kebanyakan dipengaruhi faktor eksternal. Kekejaman dunia telah membuat Udin semakin cepat dewasa. Anak seusianya yang seharusnya masih duduk dibangku sekolah "dipaksa" untuk bekerja demi menghadapi kehidupan. Hal inilah yang secara perlahan tetapi pasti mengubah sikap Udin.

Tokoh kedua yang akan dibahas perwatakannya adalah emak. Emak adalah pribadi yang tertup. Ia enggan membicarakan masalah keluarga pada anak-anaknya. Udin dan Karti dianggap belum cukup dewasa untuk mengerti permasalaha kehidupan.

"Tidurlah. Jangan terus bicara kalau kau ingin membawa Karti ke dokter dan membelikannya soto daging besok."

Namun demikian tokoh emak adalah seseorang yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada keinginan pribadi. Ia sebenarnya tidak ingin anak-anaknya menderita, oleh karena itu segala kepahitan hidup ia hadapi sendiri. Ketika Udin mendapatkan daging dan selesai dimask, maka ia mendahulukan anak-anaknya untuk makan. Sedangkan dirinya sendiri yang sudah tiga hari belum makan malah tidak dihiraukan.

Perih dilambungnya sendiri tak diperdulikan. Perutnya dijerat tali setagen agar laparnya tak menjadi-jadi. Sudah tiga hari ia tak pergi memulung.

"Udin, makanlah. Kau pasti sudah sangat lapar, "ujar Mak sambil menenteng panci penyok berisi soto daging ke dalam rumah. "Mak akan menyuapi Karti. Siapa tahu dia langsung sembuh."

Mednick, Higgins, dan Kircshenbaum dalam Dayakisni (2001: 53) menyebutkan bahwa pembentukan sikap seseorang dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu : (1) pengaruh sosial, (2) karakter kepribadian individu, dan (3) informasi yang selama ini diterima oleh individu. Yang paling menonjol dari sifat emak bila disesuaikan dengan teori di atas adalah berkenaan dengan kepribadian individu. Emak adalah orang yang kurang bisa bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Hal ini membuatnya sedikit tertutup dan emiliki pribadi yang individual. Salah satu tindakan emak yang juga dikategorikan prilaku agresi adalah membiarkan dirinya kelaparan selama tiga hari.

Tokoh ketiga dalam cerpen di atas yang akan dibahas adalah nyonya Maliana. Watak tokoh ini labil, pemarah, dan sekaligus pelaku agresi. Ia sering menggunakan kata-kata sarkasme untuk melampiaskan kemarahannya. Selain itu tindakan mendorong kepala pembantunya dengan kasar termasuk prilaku agresi eksternal.

"Hah!? Kau lupa menaruh tas kresek itu? Dasar tolol!"
"Kalau sampai tas kresek itu ditemukan orang dan terjadi apa-apa, kau harus bertanggungjawab!"
"Makanya, pakai otakmu!" Nyonya Maliana mendorong kepala pembantu yang tersedu itu kasar.
"Pembantu gila itu bikin gara-gara. Tas kresek hitam milik Papa waktu itu hilang. Coba, bagaimana kalau tas kresek itu ditemukan orang dan dimantra-mantra? Sekarang kan banyak orang yang memperebutkan jabatan Papa yang basah itu?"

E.1.3 Agresi
Tokoh yang melakukan tindak agresi dalam cerpen ini adalah preman pasar, emak, dan nyonya Maliana. Masing-masing memiliki ketidaksamaan dalam wujud dan cara.
Tokoh pertama adalah preman pasar. Ia melakukan agresi kepada Udin dengan cara menyodok dengan lengannya. Ketika Udin melamun datanglah seorang perempuan yang meminta dibawakan barang bawaannya, namun Udin masih asik dengan lamunannya. Melihat yang demikian, preman pasar menyodok Udin disertai dengan kata-kata kasar.

"Heh! Tuli kau!? Atau tak mau uang?"
Udin hampir terjatuh di sodok lengan preman pasar yang kekar itu.

Jika dilihat dari unsur-unsurnya, tindakan preman pasar sudah memenuhi syarat-syarat agresi. Pertama, dilihat dari niat, niat preman adalah memperingatkan dengan menyakiti Udin. Kedua, tindakan tersebut menyakiti objek. Ketiga, udin tidak menginginkan perlakuan preman tersebut.
Perilaku agresi yang dilakukan oleh preman dilatarbelakangi oleh perilaku yang tidak menyenangkan. Udin yang diminta membawakan barang bawaan malah melamun. Ia kemudian menyodok Udin agar mau membawakan barang bawaan tersebut.

Tindak agresi kedua dilakukan oleh emak. Agresi ini lebih bersifat internal yaitu dengan menyakiti dirinya sendiri. Emak sudah tiga hari tidak makan. Padahal setiap hari Udin membawa sebungkus nasi untuk mereka bertiga. Watak emak yang lebih mementingkan anak dengan menyiksa dirinya sendiri termsuk tindak agresi.

Perih dilambungnya sendiri tak diperdulikan. Perutnya dijerat tali setagen agar laparnya tak menjadi-jadi.

Perilaku agresi terakhir dilakukan oleh nyonya Maliana. Ia melakukan agresi eksternal dengan memaki dan mendorong kepala pembantunya. Bila ditinjau dari penyebabnya, prilaku Maliana ini merupakan reaksi dari perbuatan pembantunya yang menghilangkan daging tumor.
Nyonya Maliana blingsatan. Marah besar. Memaki-maki pembantunya. Kecantikan wajahnya yang selalu terurus salon seketika lenyap. Ia kehilangan!

"Hah!? Kau lupa menaruh tas kresek itu? Dasar tolol!"
Air mata pembantu muda itu meleleh. Ketika mampir ke pasar beberapa hari lalu, ia benar-benar lupa membawa tas kresek hitam itu turun dari angkutan. Apakah lupa itu sebuah dosa? Sia-sia ia mengatakan hal yang sejujurnya pada Nyonya Maliana. Sekarang ia memilih diam. Toh, apapun yang ia katakan, wanita itu akan terus memaki-makinya.
"Kalau sampai tas kresek itu ditemukan orang dan terjadi apa-apa, kau harus bertanggungjawab!"
"Tapi Nyonya, saya,"
"Makanya, pakai otakmu!" Nyonya Maliana mendorong kepala pembantu yang tersedu itu kasar.

Delut dalam Dayakisni (2001: 103) menyatakan bahwa bentuk prilaku agresi digambarkan dalam bentuk item-item dari factor analysis of behavioral checklist, yang terdiri dari 11 item. Kesebelas item tersebut adalah (1) menyerang secara fisik, (2) menyerang dengan kata-kata, (3) mencela orang lain, (4) menyerbu daerah orang lain, (5) mengancam melukai orang lain, (6) main perintah, (7) melanggar milik orang lain, (8) tidak mentaati perintah, (9) bersorak-sorak, berteriak, atau berbicara keras pada saat yang tidak tepat, dan (11) menyerang tingkah laku yang dibenci.

E.2 Wujud Pencitraan Sosial yang Diungkapkan oleh Adhyra dalam Cerpen Sang Buronan Ditinjau dari Prespektif Psikologis
E.2.1 Interaksi Sosial
Karjo menerima SMS dari orang asing yang mengabarkan ibunya yang berada di desa meninggal dunia. Keberadaannya sebagai target operasi Polisi membuatnya waspada. Ia tidak mau terjebak dalam perangkap Polisi yang telah lama mencarinya. Kemudian Karjo mengkonfirmasi kebenaran SMS tersebut pada sahabatnya di kampung (Mukhlis). Setelah mengetahui validitas SMS tersebut, Karjo berani mengambil keputusan untuk pulang menghadiri pemakaman ibunya.
Sejenak Karjo tercenung, mencoba menelusuri, siapa gerangan pengirim SMS itu? Setelah menemukan titik terang, ia tersenyum kecil. Lalu, ia mengontak Muklis; teman sepermainannya sejak kecil dulu - yang telah ia bantu secara materi - dan sekarang hidup cukup makmur di desa sebagai peternak kambing, menanyakan kebenaran berita itu. Setelah Muklis meyakinkan kebenaran berita itu, Karjo menghela napas lega.

Bentuk interaksi sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah antara pengirim SMS dengan Karjo dan antara Karjo dengan Mukhlis. Motif yang melatar belakangi pengirim SMS adalah untuk mengabarkan kepada Karjo tentang kematian ibunya. Sedangkan tendensi Karjo mengkonfirmasi isi SMS yang diterima adalah agar dia tidak terjebak dalam perangkap Polisi.

Ketika Karjo menghubungi Mukhlis terdapat peristiwa sugesti. Mukhlis dipilih karena ia memiliki hutang budi pada karjo. Mukhlis telah diberikan modal untuk beternak kambing. Karjo hanya meminta agar Mukhlis menjaga ibunya. Sugesti yang dilakukan karjo dapat dikategorikan dalam sugesti otoritas. Kekuasaan Karjo atas Mukhlis menyebabkan dirinya bisa menyugesti Mukhlis untuk memberikan keterangan yang sebenarnya.

Bentuk interaksi sosial yang kedua adalah ketika Ustadz Kholil ingin mengetahui isi surat Karjo. Karjo yang ditembak mati oleh Polisi ternyata memiliki keinginan untuk bertaubat setelah ibunya meninggal. Namun niatannya ini gagal karena ajal telah datang menjemput. Ustadz Kholil yang mengetahui isi surat Karjo melakukan interaksi dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

"Apa isi surat itu, Pak?" tanya Ustadz Kolil yang tadi memimpin pemakaman ibunya Karjo.
Dengan suara cukup keras, polisi itu segera membacanya: "Selesai pemakaman Ibuku nanti, aku akan bertobat. Aku harus mengakhiri petualanganku sebagai perampok kelas kakap. Di sisa usiaku ini, aku ingin mengambil jalan yang lurus, jalan yang benar, dengan nyantri di Pondek Pesantrennya Ustadz Kolil."

Semua yang hadir di rumah Karjo itu, seketika terkesima. Mereka seakan kehabisan kata, tak tahu harus berkata apa. Tapi segera Ustadz Kolil memekik dengan suara lantang: "Allahu Akbar!"
Ustadz Kholil menyugesti penduduk kampung untuk menghargai perbuatan dan niat Karjo untuk bertaubat. Terjadi peristiwa sugesti kompleks yaitu (1) sugesti karena hambatan berfikir, (2) sugesti karena pikiran terpecah, dan (3) sugesti karena mayoritas.

Wujud sugesti yang pertama adalah perbuatan Karjo yang sangat buruk selama hidupnya bisa dimaafkan hanya dengan sebuah surat pernyataan ingin taubat. Masyarakat bisa menerima ini karena secara materi mereka tidak dirugikan oleh perbuatan Karjo dan mengenal Karjo sebagai pribadi yang sukses. Selain itu mereka bisa membaca niat tulus Karjo untuk bertaubat.
Sugesti karena pikiran terpecah dapat dibuktikan dengan pikian warga saat itu. Sedikitnya ada lima hal yang sedang mereka pikirkan, (1) rasa berkabung terhadap kematian ibunya Karjo, (2) rasa bangga terhadap Karjo yang telah menjadi orang sukses, (3) ketidakpercayaan terhadap perbuatan Karjo yang ternyata pelaku kejahatan, (4) rasa terkejut oleh kematian Karjo, dan (5) rasa haru terhadap surat yang ditulis oleh Karjo. Ketika rasa ini masih bercampur-baur, dan mendapat sugesti dari orang terkemuka (Ustadz Kholil) untuk bertakbir yang bermaksud menghargai niat baik Karjo.

Sugesti mayoritas dilakukan oleh penduduk kampung terhadap Polisi yang menangkap Karjo. Penduduk kampung telah seide menganggap perbuatan karjo bisa dimaafkan, sedangkan Polisi merasa dipojokkan oleh sugesti yang disampaikan oleh penduduk kampung. Sugesti ini lebih ke arah kejiwaan bukan dalam betuk fisik.

E.2.2 Sikap (Attitude)
Sikap yang akan dibahas pada sub bab berikut adalah tokoh-tokoh yang memiliki sikap menonjol. Jadi tidak semua tokoh yang akan dianalisis sikapnya. Tokoh-tokoh yang menjadi objek adalah Suryati dan Karjo.

Tokoh pertama yang akan dianalisis sikapnya adalah Suryati. Suryati memiliki sikap sombong dan merendahkan orang lain. Kata-katanya bernada sinis dan tidak mempercayai kesungguhan Karjo. Sebenarnya ada yang dicari oleh Suryati yang tidak terdapat pada diri Karjo, yaitu materi.

"Menikah?" tawa Suryati bernada menghina. "Mau jadi apa rumah tanggaku nanti kalau menikah dengan kamu yang penjudi, pemabuk dan pencuri?"
"Lantas kau akan kerja apa? Dan, aku serta anak-anakku kelak akan kau beri makan apa?" cibir Suryati.
"Maaf, semua itu baru angan-angan," potong Suryati. "Yang pasti, tak lama lagi aku
akan dilamar dan menikah dengan Pak Broto."
"Eit, jangan salah duga," ucap Suryati pula. "Aku sudah minta syarat pada Pak Broto, agar dia menceraikan semua istrinya dan dia setuju."

Wujud sikap Suryati di atas didasari oleh fungsi ekspresi dalam bersikap. Ia sadar bahwa dirinya adalah kembang desa setempat. Ia memiliki standart tertentu berkenaan dengan calon suaminya. Karjo dianggapnya tidak memenuhi standart yang diajukan. Perilaku Suryati ini termasuk memamerkan citra diri sebagai wujud dari eksistensinya sebagai kembang desa.

Karjo dalam cerpen Sang Buronan ini memiliki perilaku yang unik. Dikatakan demikian karena sikap Karjo selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun ada satu sikap yang khas pada diri Karjo yaitu rasa sayang pada ibunya. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan sebengal apapun Karjo tetapi masih sayang pada perintah ibunya.

"Untuk membunuh Pak Broto, Bu!" "Ha?" mata ibu membelalak. "Kenapa hal itu kau lakukan, Nak?"
"Karena aku sangat benci kepada dia!" suara Karjo penuh dendam.
"Kenapa kamu membencinya? Apa salah Pak Broto?"
"Karena dia telah mengawini Suryati, gadis yang sangat aku cintai!"
Sang ibu mengelus dada. "Oalah Karjo, Karjo, hanya karena masalah sepele, masalah wanita, kau akan melenyapkan nyawa seseorang. Ingat Nak, eling, kita ini orang nggak punya, orang miskin. Kalau kau nekad membunuh Pak Broto, bukan hanya kau yang akan dimusuhi orang satu desa, tapi aku juga, Ibumu, yang melahirkan dan membesarkanmu. Apa kau tega melihat Ibu hidup lebih sengsara lagi?"
Karjo terdiam. Kata-kata ibunya yang terakhir telah menyentuh nuraninya. Melihat hal itu, sang ibu cepat berkata:
"Kau ini laki-laki, Jo. Jangan berpikiran cekak. Bila kau mau pergi merantau jauh dari desa kita ini, akan kau jumpai wanita-wanita yang jauh lebih cantik dari Suryati."
Karjo mengangguk-angguk. "Benar juga ya, Bu?"

Pembentukan sikap Karjo yang bengal bukan terjadi secara instan. Proses terjadinya memerlukan waktu yang relatif lama. Mengacu pada teori Bimo Walgito dalam Dayakisni (2001: 52-53) bahwa sesuatu yang menimpa Karjo berawal dari faktor internal dan berlanjut pada faktor eksternal. Faktor internal yaitu ketika pribadi Karjo menyaring informasi dari dunia luar terdapat miss perseption. Informasi yang masuk berupa data-data yang salah sehingga membentuk watak negatif. Berkenaan dengan faktor eksternal, keadaan perekonomian yang miskin ditambah perilaku apatis oleh masyarakat di sekelilingnya membuat Karjo menempuh jalan hidup yang merugikan dirinya sendiri.

E.2.3 Agresi
Hampir semua tokoh dalam cerpen ini melakukan tindak agresi. Akan tetapi penulis membatasi pembahasan pada beberapa tokoh antara lain Karjo, Suryati dan Polisi. Masing-masing memiliki ketidaksamaan dalam wujud dan cara. Karjo dalam melakukan agresi lebih sering dalam bentuk fisik. Mengacu pendapat Delut dalam Dayakisni (2001: 103) wujud prilaku agresi yang dilakukan oleh Karjo sedikitnya adalah menyerang secara fisik, melanggar milik orang lain, dan tidak mentaati perintah.

Karjo menyerang secara fisik dan melanggar milik orang lain dengan melakukan pencopetan serta perampokan bank. Tindakannya merupakan agresi yang diakibatkan keadaan ekonomi yang tidak mapan. Krahe dalam Hanurawan (2001: 54) menyebutkan tiga motif seseoang ketika melakukan agresi yaitu (1) sebagai reaksi terhadap peristiwa yang tidakmenyenangkan, (2) sebagai perilaku sosial yang dipelajari, dan (3) dimediasi oleh penilaian kognitif.
Karjo melakukan tindakan pencopetan dan perampokan sebagai akibat dari kehidupan sosialnya yang carut marut. Ketika ia di Jakarta tidak bisa mencari pekerjaan secara halal, ia memutuskan untuk melakukan pencopetan. Lama-kelamaan ia mahir dan ingin beralih profesi menjadi perampok. Peralihan ini dipelajari dari kehidupan sosialnya yang turut memberikan pengaruh terhadap cara berfikir menghadapi kehidupan.

Adapun bentuk agresi Karjo yang tidak mematuhi perintah dapat dilihat dari kutipan berikut.
Dan pada saat itulah, tiba-tiba datang beberapa orang polisi mengepung rumah Karjo. Karjo merasa kebebasannya terancam. Ia tak mau dijebloskan ke dalam sel tahanan. Maka, secara spontan Karjo mengeluarkan pistol miliknya dan menembakkannya beberapa kali ke atas, guna mengacaukan suasana, agar mudah baginya untuk meloloskan diri.

Tapi para polisi itu lebih sigap. Karjo ditembak tepat di dadanya. Karjo pun jatuh tersungkur dengan bersimbah darah.

Bentuk agresi yang dilakukan oleh Suryati adalah melalui media kata-kata serta mencela orang lain. Hal ini dilakukan karena rasa ketidaksukaannya pada Karjo yang ingin melamarnya.

"Menikah?" tawa Suryati bernada menghina. "Mau jadi apa rumah tanggaku nanti kalau menikah dengan kamu yang penjudi, pemabuk dan pencuri?"
Sesaat Karjo terdiam. Ditatapnya wajah ayu Suryati dengan penuh kekaguman.
"Ya, aku memang bejat, Ti," katanya kemudian sungguh-sungguh. "Tapi percayalah, semua itu akan aku tinggalkan kalau aku telah menikah denganmu."
Kembali Suryati tertawa sumbang.
"Lantas kau akan kerja apa? Dan, aku serta anak-anakku kelak akan kau beri makan apa?" cibir Suryati.
"Kerja apa saja, yang penting halal," sahut Karjo cepat. "Yang pasti, aku tak akan membuatmu sengsara."
"Maaf, semua itu baru angan-angan," potong Suryati. "Yang pasti, tak lama lagi aku akan dilamar dan menikah dengan Pak Broto."
"Kau akan menjadi istri yang ke berapa?" sela Karjo.
"Eit, jangan salah duga," ucap Suryati pula. "Aku sudah minta syarat pada Pak Broto, agar dia menceraikan semua istrinya dan dia setuju."

Semua perkataannya bernada sinis dan ditujukan kepada Karjo. Motif yang dilakukan Suryati adalah reaksi terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan – dilamar Karjo--. Keteguhan hati Karjo dalam melamar membuat Suryati semakin frustasi. Kata-kata yang dikeluarkan semakin tidak sedap didengar oleh Karjo.

Secara teoritis frustasi yang dihadapi Suryati timbul karena pengaruh variabel perantara (Hanurawan, 2001 : 54). Variaberl perantara yang dimaksud adalah (1) ketakutan menjadi orang miskin, (2) dicap sebagai istri penjahat, dan (3) pandangan seseorang bahwa dirinya sebagai kembang desa akhirnya mendapatkan seorang penjahat sebagai suaminya.

E.3. Komparasi Tinjauan Psikologis Sosial terhadap Pencitraan yang Dilakukan oleh Sri Lestari dan Adhyra dalam Cerpen Masing-masing
Kondisi psikologis antar pengarang perempuan dan pengarang laki-laki tidak sama. Beberapa pakar psikologi menyebutkan bahwa segala tindakan perempuan didasari oleh insting dan perasaan. Adapun perilaku laki-laki pada umumnya berdasarkan rasio. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih didominasi oleh otak kiri dalam bekerja. Sedangkan kaum laki-laki didominasi oleh otak kanan.

Pendapat di atas adalah pendapat klasik dan sudah mulai banyak ditinggalkan. Dalam studi gender oleh banyak ahli disebutkan dewasa ini peran laki-laki dan perempuan sudah mengalami persamaan. Pekerjaan yang sedianya dilakukan oleh kaum perempuan sudah biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, misal : koki di restoran dan hotel, pekerja salon dan lain sebagainya. Begitu pula sebaliknya, banyak pekerjaan kaum laki-laki yang dikerjaka oleh perempuan.

E.3.1 Perasaan dengan Rasio
Dalam kedua cerita pendek di atas, kesamaan dan perbedaan berkenaan teori yang telah disebutkan dapat dianalisis oleh penulis. Terdapat kesinkronan antara teori dan begitu pula negasi. Sri Lestari dalam menuliskan karyanya terkadang melebih-lebihkan dalam hal konflik tokoh. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini!

"Soto daging, Mak. Soto daging," (Karti)
"Karti harus dibawa ke dokter, Mak." (Udin)
"Kau belum tidur? Tidurlah, besok kau harus kerja." (Emak)

Dalam kutipan di atas dapat dilihat secara jelas bahwa aspek psikologis yang terdapat dalam cerpen hanya dapat dibaca secara implisit. Perasaan-perasaan yang dibangun pengarang untuk membangkitkan ceritanya dibuat sedemikian rupa dengan menggunakan perasaan-perasaan dan sudut pandang keperempuanannya. Sri Lestari berhasil mentransfer perasaannya ke pembaca dengan media bahasa.

"Mak, aku membawakan daging untuk Karti. Mungkin sekilo lebih! Tanganku sampai pegal membawanya sambil lari-lari. Tadi sepulang dari pasar, aku menemukan daging ini di angkutan. Wah, kita bisa makan daging ini untuk beberapa hari, Mak! Bumbunya juga sudah kubelikan di warung! Cepatlah Mak masak. Kasihan Karti."

Tak ada kata yang keluar dari bibir perempuan itu. Ia terdiam. Gagu. Antara gembira, sedih dan haru. Setelah memerintah Udin menjaga Karti, perempuan itu bergegas ke belakang rumah. Tempat ia biasa memasak.

Dari kutipan di atas, Sri Lestari masih membolak-balikkan perasaan pembaca dengan konflik internal yang ada dala diri tokoh. Kemiskinan emak dan kerja keras Udin untuk mendapatkan daging adalah media yang dipergunakannya. Kondisi ini tidak terlepas dari rasa keindahan dan perasaan keperempuanannya.

Senjata yang digunakan oleh Lestari dalam menuliskan ceritanya adalah keindahan yang terdapat dalam pemilihan diksi dan kesan individu setelah membaca cerita. Kesan-kesan itu lebih bersifat perasaan simpati, antipati, emosi dan empati pembaca terhadap masing-masing tokoh.
Berbeda dengan Lestari, gaya penceritaan Adhyra lebih memaksa pembaca untuk merasionalkan peristiwa yang terdapat dalam cerpennya. Kata-kata dalam cerpennya bersifat lugas dan koheren. Adhyra mengajak pembaca untuk menarik cerpen itu ke alam sadar seseorang dan berupaya menghidupkan cerpen dengan mengkomparasikan kejadian yang ada di masyarakat.
Sejenak Karjo tercenung, mencoba menelusuri, siapa gerangan pengirim SMS itu? Setelah menemukan titik terang, ia tersenyum kecil. Lalu, ia mengontak Muklis; teman sepermainannya sejak kecil dulu - yang telah ia bantu secara materi - dan sekarang hidup cukup makmur di desa sebagai peternak kambing, menanyakan kebenaran berita itu. Setelah Muklis meyakinkan kebenaran berita itu, Karjo menghela napas lega.

Perhatikan pola pikir yang dibuat oleh Adhyra. Sebagai seorang laki-laki ia lebih menggunakan rasio dari perasaan. Ketika mendapat berita tentang kematian ibunya, Karjo tidak langsung bergegas pulang kampung. Ia menghubungi teman sebayanya dan mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut. Ia sadar posisinya sebagai buronan akan sedikit menjadi penghalang. Ia baru yakin bahwa berita yang diterimanya benar, ketika mendapat kepastian dari temannya berkenaan kesahihan SMS yang diterimanya.

Di Jakarta, tanpa keahlian khusus, mencari kerja ternyata tak semudah yang diduga. Maka mulailah Karjo menggelandang sana-sini, menjelajah seantero Jakarta. Sampai akhirnya ia mendapatkan titik temu: Untuk dapat bertahan hidup di Kota Metropolitan yang ganas dan kejam ini, aku harus menggunakan keahlianku di desa, mencuri; tapi harus dengan tipu daya, alias mencopet!

Mula-mula secara kecil-kecilan. Mencopet di pasar-pasar tradisional, di terminal-terminal dan di bis kota. Ketika sudah punya banyak teman yang seprofesi, Karjo berniat menjadi penjahat kelas kakap! Dan untuk melaksanakan rencana besar ini, ia pun mengatur strategi.
....

Ia tak mau dijebloskan ke dalam sel tahanan. Maka, secara spontan Karjo mengeluarkan pistol miliknya dan menembakkannya beberapa kali ke atas, guna mengacaukan suasana, agar mudah baginya untuk meloloskan diri.

Dalam kutipan di atas jelas sudah permasalahan antara perasaan dengan rasio. Adhyra membuktikan bahwa karyanya lebih menunjukkan eksistensinya sebagai seorang laki-laki dengan menggunakan pemiliran yang logis yang dituangkan dalam tokoh cerita. Akan tetapi Adhyra juga tidak berkompromi dengan unsur batin dalam ceritanya. Banyak kutipan yang menegaskan bahwa pengarang laki-laki juga bisa bermain perasaan sebagaimana pengarang perempuan. Namun yang perlu ditegaskan bahwa dominasi yang dilakuka Adhyra dalam cerpennya adalah dalam hal rasio.

E.3.2 Keindahan Bahasa dan Pengaruh Psikis yang Ditimbulkan
Sudah dijelaskan di atas bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan dan insting, sedangkan laki-laki lebih menekankan pada rasio dan pola pikir. Selain melalui peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dalam cerpen masing-masing, ciri ini dapat dibaca melalui penggunaan dan pemilihan diksi.

Pemilihan diksi juga merupakan refleksi dari perasaan pengarang. Ketika seseorang sedang dalam keadaan terharu, ia akan menggunakan kata-kata yang bisa mewakili perasannya. Ketika seseorang merasa marah maka perkataan yang dikeluarkan adalah cerminan dari apa yang ada dalam pikirannya.

Sri Lestari dalam cerpennya Daging memiliki kecenderungan menggunakan pilihan kata yang indah dan "menusuk". Ini memberikan kekuatan dalam cerita dan lakon yang dibangun. Perasaannya sebagai seorang perempuan direfleksikan dengan penggunaan kata dalam cerita.
Langit malam buram. Menangis. Kilat menyambar. Mengantarkan gelegar petir membelah perkampungan kumuh di pinggir sungai. Rumah-rumah berdinding kardus dan papan bekas berjejalan. Sempit, sesak, lembab. Daun-daun pintu bergoyang. Berderak. Seolah ada tangan hantu mempermainkan pintu-pintu itu dari luar. Angin kencang menghempas, hujan deras. Sungai meluap. Menghamburkan air kotor penuh limbah pabrik, kotoran manusia dan sampah. Barangkali kiamat akan mendatangi perkampungan kumuh itu malam ini.

Dari kutipan di atas dapat diapresiasi bahwa pribadi penulis adalah seseorang yang peka terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sosial. Lagi-lagi unsur perasaan lah yang membuat seseorang mampu membuat rangkaian kata-kata yang indah dan "menusuk".
Berbeda dengan Lestari, Adhyra terbukti bisa mengajak pembaca memahami isi cerita yang dibuat walaupun menggunakan bahasa yang sedikit lugas. Bila dibandingkan dengan Lestari, kata-kata yang digunakan oleh Adhyra lebih mencerminkan dirinya sebagai seorang laki-laki. Ia ingin menghadirkan dirinya dalam tokoh dan peristiwa di cerita yang ia buat. Dengan kata lain cerita yang dibuatnya adalah refleksi dari kondisi jiwanya dalam melihat sesuatu.
Karjo tumbuh dalam keluarga broken home. Bapaknya jatuh hati pada pelacur, lalu pergi bersama pelacur itu - entah ke mana - meninggalkan ibunya begitu saja. Sang ibu adalah prototipe orang desa yang miskin dan tak punya ketrampilan apa pun. Maka untuk biaya hidup sehari-hari, ibunya bekerja sebagai buruh tani, bersama beberapa orang tetangganya menggarap sawah milik Pak Broto, sang tuan tanah. Dan, karena gaji buruh tani yang kecil - di samping ibunya, wanita tak sanggup bersaing dengan para buruh tani laki-laki dalam kerja borongan itu - terpaksa sekolah Karjo putus di tengah jalan. Sejak saat itulah Karjo mulai jadi anak brandalan. Setiap hari kerjanya hanya keluyuran tak tentu tujuan, sampai akhirnya ia mulai mengenal judi, minuman keras dan perempuan. Bila tak punya uang untuk memenuhi kebutuhan buruknya itu, Karjo mulai berani mencuri kecil-kecilan. Dan, sejak saat itu pula Karjo mulai dibenci dan dikucilkan oleh penduduk desanya.

F. Penutup
Demikian telah dipaparkan di atas Studi Komparasi Cerita Pendek Angkatan 2000 berdasarkan Prespektif Sosiopsikologis. Penulis berharap dari tulisan ini pembaca dapat mengambil suatu pelajaran dan mampu mengembangkannya. Pembahasan di atas belum mengkaji semua aspek sosial dalam prespektif psikologis. Keterbatasan waktu penulis menjadi sebab kurang sempurnanya tulisan ini.

Bibliografi
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Offset.
Dayakisni, Tri. et.al. 2001. Psikologi Sosial (Buku 1). Malang: UMM Press.
Hanurawan, Fattah. 2001. Dasar-dasar Psikologi Sosial. Malang: Triutara Press(ca).

Tidak ada komentar: