Rabu, 09 April 2008

TEMA-TEMA YANG MENJEBAK

TEMA-TEMA YANG MENJEBAK
(Komparasi Antara Cerpen Cyber dan Cerpen Koran)
Oleh Arif Irfan Fauzi


Pendahuluan
Tema dalam konteks kesusastraan dapat diartikan sebagai pokok ide yang mendasari suatu karya. Dalam proses penciptaan karya sastra, pengarang menjadikan tema sebagai acuan dalam berkarya. Dengan adanya tema yang terstruktur, ide pengarang yang dituangkan dalam kertas akan tetap dalam rel kebenaran dan tidak akan menyimpang.

Lebih lanjut, pengarang yang mengikuti "trend" tema pada suatu periodisasi dapat dicap sebagai sastrawan di suatu angkatan. Hal ini tentunya akan menambah gengsi bagi pengarang, sebab selain karyanya yang seide dengan pengarang lain, ia juga dapat menorehkan namanya dalam buku sejarah sastra sebagai salah satu pengarang. Pengarang juga akan memiliki "nilai jual" yang lebih dibanding dengan pengarang yang "memberontak" baik dalam hal ide atau konvensi lainnya.
Walaupun belum mendapat pengakuan secara menyeluruh dari para sastrawan, angkatan 2000 terbukti memiliki daya dobrak yang dapat menyingkirkan angkatan sebelumnya (1998). Terlepas dari polemik yang ada, angkatan ini memiliki ciri yang jauh berbeda dengan angkatan 1998.

Dalam hal tema, angkatan 2000 mengedepankan kebangkitan perempuan. Secara global, karya dalam angkatan ini seakan-akan ingin membalik posisi kaum perempuan atas laki-laki.
Media penyampai ide yang digunakan oleh para sastrawan tidak lagi terbatas pada buku, melainkan sudah merambah pada sastra cyber dan sastra koran. Sastra cyber dapat diwakili oleh "situs resmi sastra" yakni www.cybersastra.net. Adapun sastra koran sering dimuat dalam kolom budaya. Koran yang secara rutin memuat kolom ini antara lain KOMPAS dan JAWA POS group.

Kedua media ini memiliki visi dan misi yang berbeda dalam pemuatannya. Hal ini menyebabkan seringnya ketidaksamaan ide yang ada di dalam karya sastra yang dimuat. Pemertahanan konvensi angkatan 2000 pada kedua media ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut sebagaimana berikut.

Sastrawan Nyentrik, Tidak Dilarang

Angkatan 2000 dapat dikatakan sebagai angkatan yang menempatkan perempuan dalam posisi puncak. Berbagai upaya dilakukan oleh para sastrawan guna menyejajarkan posisi perempuan dengan posisi laki-laki, salah satunya dengan karya sastra. Pengakuan terhadap cerita-cerita yang dibuat oleh kaum hawa dan menempatkannya setara dengan karya laki-laki dengan mengindahkan hegemoni gender adalah salah satu bukti riil (Fauzi: 2007).

Dalam dunia sastra, tidak ada aturan yang mengekang kreativitas sastrawan. Konvensi-konvensi yang ada dalam dunia sastra merupakan peraturan yang tidak tertulis dan bersifat mana suka, artinya, bisa diikuti atau bisa pula ditolak. Pada masa kolonial dan orde baru ketidaktaatan pada konvensi akan berakibat fatal. Seorang sastrawan "pemberontak" akan menerima ganjaran atas perbuatan nekatnya. Kasus yang pernah ada antara lain berakibat pada (1) dilarang terbitnya suatu naskah sastra –Belenggu fersi angkatan Balai Pustaka,- (2) ditariknya karya sastra dari pasaran –kasus Pramudya,- dan (3) dipenjarakannya sastrawan –Pramudya dkk.- Konsep di atas mulai tidak berlaku sejak runtuhnya rezim orde baru (angkatan 1998 dan angkatan 2000). Sastrawan seolah-olah menjadi liar tak terkendali tanpa batas. Namun, masih banyak pula sastrawan yang tetap setia menjaga konvensi-konvensi tak tertulis tersebut. Hal ini berakibat seakan-akan munculnya dualisme sastrawan yakni sastrawan yang tetap memegang teguh konvensi dan sastrawan nyentrik yang lebih memilih kebebasan dalam berkarya.

Dikotomi anatara kedua jenis sastrawan ini terefleksikan dalam karya yang dihasilkan. Tidak ada sisi negatif yang ditimbulkan, bahkan banyak ditemui sisi positif dari perbedaan ini. Baik dalam sastra cyber dan sastra koran , kedua kelompok ini sama-sama berkembang dan semakin memperkaya dunia sastra.

Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis tema yang diangkat oleh kedua kelompok di atas dalam di media. Penulis mengambil sampel cerpen secara random baik di www.cybersastra.net yang mewakili sastra cyber dan di koran Jawa Pos sebagai wakil sastra koran. Judul cerpen tersebut adalah "Kutukan" karya Mer Magdal (selanjutnya disebut cerpen satu) dan "Kami Ingat Markiyem" karya Mariana Amiruddin (selanjutnya ddisebut cerpen dua).

Cerpen pertama dikategorikan sebagai produk sastrawan nyentrik. Hal ini dikarenakan pengarang tidak mempedulikan kaidah-kaidah atau konvensi dalam menulis. Karya sastra ini ditulis pada bulan Mei tahun 2002. Secara periodesasi karya ini masuk dalam angkatan 2000. Unsur tema tentang kebangkitan perempuan sama sekali tidak ditemukan. Walaupun dalam cerpen terdapat tokoh perempuan (Minah), namun tidak begitu memiliki peran penting (hanya sebagai penjual nasi di warteg). Sebaliknya, tokoh utama memiliki dominasi baik dalam segi menghidupkan cerita maupun kondisi sosial ekonominya.

Ketidakikutan terhadap konvensi yang sudah ada tidak menjadikan cerpen ini sebagai "sampah." Walaupun dikatakan nyentrik, unsur sastra yang ada di dalamnya justru terlihat dengan jelas. Kreativitas penulis dalam mengolah cerita baik secara ide maupun unsur teknis lainnya menjadikan cerpen ini memiliki nilai. Kalau dikomparasikan dengan cerpen seangkatan yang bertemakan kebangkitan perempuan (cerpen kedua), maka cerpen pertama juga memiliki bargaining potition. Keberanian Magdal sebagai pengarang mendobrak tradisi justru menjadikannya sastrawan cyber yang memiliki kekhasan tersendiri.

Tema sosiokultural yang dipergunakan oleh Magdal masih menarik diperbincangkan di tengah gencarnya tema feminis. Hal ini disebabkan sampai kapanpun seseorang tidak akan pernah bisa lepas dari sosiokultural masyarakat yang ada di sekitarnya. Magdal berhasil menorehkan sebuah frame tentang realita yang ada di masyarakat dalam sebuah karya tulis fiksi imajinatif.

Sifat nyentrik Magdal dalam mengambil tema cerita yang bertentangan dengan konvensi angkatan 2000 memberikan angin segar di saat pembaca mengalami kejemuhan. Apabila semua karya pada satu angkatan memiliki tema yang sama (tanpa ada sastrawan nyentrik) maka pembaca seolah-olah akan disuguhi sesuatu yang membodohi. Kalau sampai ini terjadi, kepekaan pengarang terhadap realita yang ada di sekelilingnya (yang bersifat non feminis) tidak terasah. Pengarang akan menjadi bebal dan kehilangan idealismenya sebagai sastrawan.

Pada cerpen kedua, karya ini dikategorikan sebagai produk sastrawan konvensional. Ketaatan pengarang terhadap konvensi yang ada dapat dijadiakan alasan karya ini masuk kategori tersebut. Cerpen ini dibuat pada bulan April 2007 dan dimuat di kolom Budaya harian Jawa Pos pada tanggal 20 Mei 2007 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Asumsi pertimbangan dimuatnya cerpen ini adalah (1) tema cerpen yang sesuai dengan periodesasi, (2) Hakitnas lebih sesuai diisi dengan cerpen bertemakan kebangkitan, (3) tidak akan menimbulkan gejolak di masyarakat.

Bila dibaca secara komprehensif, maka dari cerpen kedua dapat diambil tema "harga diri seorang mantan pelacur." Dominasi Markiyem dan Rara sebagai tokoh utama sangat mencerminkan bahwa karya ini benar-benar pro konvensi. Markiyem walaupun mantan pelacur di jaman kolonial Jepang akhirnya mampu mempertahankan harga dirinya. Ia memprotes pernyataan Pemimpin Jepang yang menyatakan tidak ada perbudakan seks di masa penjajahan. Markiyem bersama korban-korban lainnya melakukan demo walaupun usianya sudah sangat tua.

Cerpen ini sesuai dimuat di harian Jawa Pos pada saat momen Harkitnas karena mereview peristiwa yang terjadi di masa lampau. Nilai adiluhung dalam cerpen dibungkus dalam peristiwa di dalam cerita. Namun, karena terbatasnya media, banyak aspek yang seharusnya bisa lebih dieksplorasi terpotong. Walaupun demikian, tidak ditemukan sesuatu yang baru dalam cerpen ini. Secara vulgar dapat dikatakan bahwa cerpen ini hanya mengubah tokoh dan peristiwa tanpa ada sesuatu yang disuguhkan kepada pembaca. Lebih lanjut, cerpen ini dapat dikatakan hanya bermodal tema yang sama dengan angkatan 2000 untuk dapat dimuat.

Terkadang keterpakuan pengarang terhadap tema-tema konvensional justru menjebak dan mengekang kreativitas. Hal ini disebabkan karena pola pikir pengarang sudah dikotak-kotakkan, sehingga tidak bisa lagi keluar dari masalah-masalah yang sudah ada. Sebaliknya, permasalahan di luar tema konvensional semakin banyak dan menarik untuk dituangkan menjadi sebauh karya.

Melalui karyanya, pengarang kedua telah berhasil mendapat pengakuan bahwa dirinya adalah pengarang karya pada angkatan 2000. Tapi di sisi lain kualitas karyanya tidak bisa memberi nuansa baru di kancah dunia sastra. Di sinilah idealisme pengarang akan dipertanyakan? (ARIF).

1 komentar:

dagneeabbas mengatakan...

CASINO ROADWAY | Mapyro
CASINO ROADWAY in 양주 출장샵 Horseshoe 의정부 출장샵 at 3333 South 제주 출장마사지 Lake Charles Blvd. (LAS) 92081 US. Find reviews and discounts for AAA/AARP members, 아산 출장마사지 seniors, Room Windows: Windows Don't OpenNon 논산 출장샵 Smoking Rooms: 1600 Rating: 4 · ‎30,584 reviews