Rabu, 09 April 2008

PSIKO ANALISIS VS PSIKOKRITIK

PSIKOANALISIS MELAWAN PSIKOKRITIK MAURON
Oleh: Arif Irfan Fauzi

PENDAHULUAN
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik.

Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Teori pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif.

Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.

Psikologi dalam sastra lebih menitikberatkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.

Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwasan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan terampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Karya sastra dan psikologis memiliki keterkaitan secara erat baik secara tidak langsung maupun fungsional. Pertautan tidak langsung, karena kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia. Adapun hubungan fungsional lebih ditekankan pada kesamaan untuk mempelajari gejala kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi bersifat riil, sedangkan dalam sastra lebih bersifat imajinatif.

Teori yang masih digunakan dalam kajian psikologi adalah psikoanalisis yang ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sering berada dalam kondisi tidak sadar. Adapun kondisi sadar sangat sedikit ditemukan dalam kondisi mental manusia. Teori ini menarik untuk dikaji, bukan hanya karena memiliki hubungan yang erat dengan sastra, akan tetapi juga dikarenakan eksistensi teori ini sampai sekarang.

PEMBAHASAN
Hubungan sastra dengan Psikoanalisis
Telah diungkapkan di atas bahwa manusia sering dalam kondisi tak sadar (alam bawah sadar) daripada kondisi sadar. Ketidak sadaran ini akan menyublim ke dalam proses kreatifitas pengarang. Dalam proses penciptaan tokoh misalnya, pengarang sering menggunakan daya imajinasinya seolah-olah sedang berhadapan dengan realitas. Semakin jauh lagi, sering pengarang merasakan larut pada cerita-cerita fiktif yang ia buat sendiri.
Dalam kajian psikologi sastra, kepribadian manusia yang dianalisis melalui teori psikoalalisis dibagi menjadi tiga yaitu, id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini saling berkaitan erat sehingga merupakan suatu totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.

Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.

Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).

Milner dalam Endraswara (2003: 101-102) menyatakan bahwa hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca. Hal ini dikarenakan karya sastra mampu menyentuh dan memberikan solusi terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.

Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.

PSIKOKRITIK MAURON
Carles Mauron, pada tahun 1948 mencoba membangun suatu psikokritik yang tidak melalui psikobiografi. Ia menolak keterlibatab psikoanalisis-medis yang telah terlalu jauh mengintervensi kritik sastra. Hasil-hasil kerja beberapa kritikus terhadap karya-karya sastra ditolaknya, karena mereka meletakkan muasal karya dalam bingkai konflik kejiwaan masa kecil sehingga memunculkan konsep tel enfant, tele ouvre (begitulah masa kecilnya, begitu pulalah karya yang dihasilkannya) menjadi semacam model.

Mauron memberikan tawaran lebih baik daripada membaca biografi pengarang yaitu dengan membaca seluruh karya pengarang tersbut. Setelah itu baru kemudian membaca kehidupan pengarang. Prinsip yang diberlakukan sangatlah sederhana, lakukan perbandingan antara aku sebagai pembaca dan aku dalam kehidupan sosial. Keduanya adalah kesatuan dalam fantasme dan komunikasi antara kedua kutub tersebut terjalin secara transadar.

Psikokritik Mauron adalah usaha pembuktian bahwa transadar pengarang adalah benar-benar muara karya, dan karya sastra tersebut membangun struktur transadar serta mengukuhkan konflik dalam bentuk asalnya. Jadi dengan menulis, seorang pengarang menjalani proses pengenalan diri transadarnya. Maka bukanlah hidup yang memberikan arti pada karya, namun karyalah yang memberikan arti kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Rokhman, Arif. Dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Ronidin. 2006. Menggagas Kritik Sastra Islami. http://sasindo.unad.ac.id/?IDSUB =63 &MENU=63&SET=2&ITEM. Diakses 6 Mei 2007.
Saparie, Gunoto. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. http://www.suarakarya.online.com. Diakses 6 Mei 2007.
Siswi SMK YDPP MM 52 Yogyakarta.2003.Tinjauan Psikologis Tokoh Rivai Dalam Novel Deviasi dan Delusi. http://www. Republika.co.id. diakses 6 Mei 2007.

Tidak ada komentar: