Rabu, 09 April 2008

STRUKTURALISME GENETIK

STRUKTURALISME GENETIK
JAWABAN ATAS KEKURANGAN-KEKURANGAN
STRUKTURALISME OTONOM
Oleh : Arif Irfan Fauzi

PENGANTAR
Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).

Pernyataan di atas berimplikasi bahwa sastra sesungguhnya adalah lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.

STRUKTURALISME OTONOM
Strukturalisme otonom memusatkan pada perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang adas di luar struktur signifikasinya.

Strukturalisme berpendapat bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan teks karya sendiri (Sayuti, 2001: 66-69). Pengkajian terhadapnya hendaknya diarahkan pada bagian-bagian karya yang menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu merupakan bagian-bagian. Pandangan ini merupakan reaksi dari pandangan mimesis dan romantik yang menekankan karya sebagai tiruan objek-objek di luarnya, dan oleh karena itu, penilaian lebih menekankan pada aspek ekspresifitas. Maksudnya, lebih menekankan pada biografi pengarang dan sejarah karya sastra.

Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur (Peaget dalam Jabrohim, 2001: 56). Ketiga unsur tersebut adalah pertama, gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian-bagian atau analisirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu sebuah struktur menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus sehingga memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang berasal dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya.

Suatu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Suwondo, 2001: 55). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa untuk memahami makna, karya sastra harus terlepas dari latar belakang sejarah,niat penulis, dan lepas dari efek pembacanya.

Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri, kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.

Dalam perkembangannya pendekatan ini dirasa kurang valid dalam pemberian makna terhadap karya sastra. Apabila sastra hanya dipahami dari unsur intrinsiknya saja, maka karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal pada hakikatnya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptaan karya tersebut. Oleh karena itu pendapat kaum strukturalisme murni/ otonom banyak mendapat kritikan oleh penganut strukturalisme genetik.

STRUKTURALISME GENETIK
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pendekatan strukturalisme juga dinamakan sebagai pendekatan objektif. Menyikapi yang demikian, Iswanto pernah mengutip pendapat Juhl (2001: 62) penafsiran terhadap karya sastra yang menafikan pengarang sebagai pemberi makna sangat berbahaya pemberian makna, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas , kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang dianut oleh pengarang. Secara gradual dapat dikatakan bahwa jika penafsiran itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya di dalam jajaran signifikan penafsiran. Objektifitas penafsiran sebuah karya sastra akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca di dalam penafsiran karya sastra.

Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman, seorang sastrawan yang berasal dari Perancis. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini mengoreksi pendekatan strukturalisme otonom dengan memasukkan faktor genetik dalam memahami karya sastra. Genetik diartikan sebagai asal-usul karya sastra yang meliputi pengarang dan realita sejarah yang turut mendukung penciptaan karya sastra tersebut.

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akang dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang.

Kecenderunga ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra, pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.
Secara sederhana pendekatan strukturalisme genetik diformulasikan sebagai berikut. Pertama difokuskan pada kajian intrinsik karya sastra, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang, karena ia adalah suatu bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang ikut mengondisikan terciptanya karya sastra. Dari ketiga cara tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik.

Pendekatan strukturalisme genetik memiliki nilai yang lebih daripada strukturalisme strukturalisme otonom. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa selain menelaah struktur pembangun karya dari dalam, apresiator harus memasukkan faktor-faktor dari luar. Dengan ini diharapkan akan timbul sebuah kesadaran bahwa karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan memadukan antara kreativitas dan faktor imajinasi yang tentunya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Jabrohim (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.
Rokhman, Muh. Arif, dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Iswanto, Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik.
Sayuti, Suminto A. Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra.
Suwondo, Tirto. Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra.

1 komentar:

HERVA mengatakan...

tulisan anda tentang kajian karya sastra dengan strukturalisme genetik...namun terlalu sedikit sehingga saya butuh penjelasan yang lebih dalam..kebetulan saya tertarik untuk melakukan suatu penelitian novel dan strukturalisme genetik sebagai pisau bedahnya, oleh karena itu saya butuh bantuan anda untuk hal tersebut..thanks